Bayang-bayang Bias Gender

Advertisement

Juang Merdeka Jateng –  Berdasarkan data BPS tahun 2020 prosentase  single parent akibat perceraian maupun karena ditinggal mati pasangan di kabupayen Blora lebih banyak terjadi dikalangan perempuan. Dan lebih dramatis lagi prosentase perceraian itu terjadi pada mereka yang masuk kategori keluarga dengan tingkat pengeluaran yang terendah. Hal ini menunjukkan bahwa posisi perempuan dalam pernikahan lebih lemah demgan intensitas penderitaan yang lebih dalam. Termasuk didalamnya adalah perceraian akibat pernikahan dini.

Pernikahan dini bukan merupakan masalah sepele yang dapat diselesaikan dalam satu dua kali sosialisasi. Dalam praktik di masyrakat justru pernikahan dini secara sadar ataupun tidak menemukan basis sosial yang subur yang disebabkan oleh banyak hal, misalnya bidang ekonomi, budaya, sosial maupun pandangan hidup masyarakat.

Dalam pernikahan dini posisi perempuan sangat lemah atau terdapat bias gender yang disebabkan oleh cara berfikir, sikap dan perilaku budaya maupun karena faktor ekonomi. Jika dalam pandangan masyarakat, perempuan belum diposisikan secara sejajar maka akan dalam banyak hal merembet ke hal yang lain sehingga bias gender menjadi sangat sulit dihilangkan. Selalu muncul kepermukaan kasus-kasus yang menunjukkan hal tersebuj, salah satunya dalam fenomena masih tingginya pernikahan dini.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2005: 146) disebutkan kata bias berarti simpangan, belokan arah dari garis tempuhan karena menembus benda bening. Sedangkan Kata gender di dalam kamus berarti jenis kelamin. Dalam kamus istilah Keluarga Berencana Nasional (2007: 23) kata Gender berarti pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Selanjutnya dalam kamus istilah Program Keluarga Berencana Nasional (2007: 13) bias gender berarti suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan pembangunan.

Konsep bias gender dapat mengacu pada ketimpangan yang berwujud pada ketidakadilan dalam rumah tangga (keluarga), terutama dalam hal penggunaan kontrasepsi diantara Pasangan Usia Subur (PUS). Dimana istri selalu menjadi sasaran penggunaan kontrasepsi, dan sudah menjadi suatu keyakinan yang mentradisi sebagai sebuah ideologi dalam keluarga.

Bias Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan (Bias Gender) Bias gender terjadi apabila salah satu pihak dirugikan, sehingga mengalami ketidakadilan. Yang dimaksud ketidakadilan disini adalah apabila salah satu jenis gender lebih baik keadaan, posisi, dan kedudukannya. Bias gender tersebut bisa saja terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi khususnya di Indonesia, bias gender ini lebih dirasakan oleh kaum perempuan. Sebenarnya ketimpangan gender yang merugikan perempuan itu, secara tidak langsung dapat merugikan masyarakat secara menyeluruh. Apabila perempuan diposisikan tertinggal, maka perempuan tidak dapat menjadi mitra sejajar laki-laki, sehingga hubungan kedua pihak akan menjadi timpang. Akibatnya, terjadilah ketidakserasian dan ketidakharmonisan dalam kehidupan bersama anatara laki-laki dan perempuan, baik dalam lingkungan kehidupan berkeluarga maupun dalam lingkungan kehidupan masyarakat secara umum.

Lebih jauh lagi dengan semakin tingginya tuntutan, kesadaran, dan kebutuhan perempuan terhadap pengembangan diri, timbullah konflik, karena perempuan membutuhkan kesempatan yang sama untuk meningkatkan kualitas dirinya. Munculnya bias gender ini (lebih banyak menimpa perempuan) diakibatkan oleh nilai-nilai dan norma-norma masyarakat yang membatasi gerak langkah perempuan serta pemberian tugas dan peran yang dianggap kurang penting dibandingkan jenis gender lainnya (laki-laki).

Dari buku Acuan Teknik Participatory Rural Appraisal Lebih jauh para ahli telah mengembangkan empat aspek (kategori) mengenai kajian kesetaraan gender ini. Secara rinci sebagai berikut :

(1) Pembagian kerja perempuan dan laki-laki, meliputi masalah atau kebutuhan yang dirasakan masyarakat untuk meningkatkan  pendapatan keluarga serta perbedaan masalah/kebutuhan laki-laki dan perempuan.

(2) Peluang dan penguasaan laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya; meliputi masalah kebutuhan apa yang berhubungan dengan sumber daya serta perbedaan masalah/kebutuhan sumber daya menurut laki-laki dan perempuan.

(3) Partisipasi laki-laki dan perempuan dalam lembaga formal dan informal; meliputi masalah/kebutuhan yang muncul mengenai: pengembangan lembaga yang dianggap penting oleh masyarakat, peran serta masyarakat di dalam kegiatan lembaga (bail kalilaki/perempuan).

(4) Pola pengambilan keputusan di dalam keluarga; meliputi masalah/kebutuhan yang muncul mengenai: pembagian kerja (beban kerja) di dalam keluarga serta perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan di keluarga.

Menyikapi isu bias gender perlu direspon secara proporsional baik oleh laki-laki maupun perempuan. Jika tidak maka tetap saja isu kesetaraan ini hanya menjadi suatu wacana yang tak berujung. Oleh karena itu sikap yang perlu dilakukan sebagai upaya merespon isu kesetaraan ini adalah dengan memperjuangkan keseimbangan gender (menghapus ketimpangan gender), menguntungkan kedua gender, memberikan kesempatan yang sama pada kedua gender, serta menegakkan keadilan bagi kedua gender. Perlunya menyikapi isu kesetaraan ini sebagai wujud kepedulian kita terhadap berbagai aktivitas hidup yang mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara umum enyataannya kondisi perempuan Indonesia dalam berbagai bidang saat ini masih sangat memprihatinkan.

Dibidang ekonomi, kita semua akan terhenyak dengan betapa rendahnya upah yang mereka terima. Sebanyak 16% perempuan bekerja menerima upah di bawah Rp 50.000,- perbulan, sedangkan laki-laki hanya 2,5%. Otak kita yang terbatas ini tidak akan mampu membayangkan bagaimana perempuan-perempuan “perkasa” tersebut menyiasati kebutuhan sehari-hari merekasungguh memprihatinkan. Selain itu disparitas upah dialami pula oleh perempuan baik di perkotaan maupun di perdesaan. Di perkotaan, perbedaan upah antara perempuan dan laki-laki berkisar Rp. 102.770. Sedangkan di perdesaan perbedaan itu berkisar pada Rp. 70.208,-. Bias gender juga terlihat secara jelas dalam banyak program intervensi dan pengembangan usaha kecil yang biasanya cenderung lebih mengutamakan kelompok laki-laki sebagai pemilik usaha. Sebagai akibatnya, kelompok pengusaha perempuan lebih ‘diarahkan’ pada program dan intervensi untuk sektor-sektor yang diasumsikan sebagai sektor yang feminim.

Dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti politik, ekonomi, media massa, pendidikan, dan kemasyarakatan, perempuan masih tetap jauh ketinggalan dari lalilaki. Dibidang pekerjaan produktif, perempuan masih lebih banyak yang menekuni bidang-bidang yang dianggap ‘cocok’ dengan perempuan (feminim), seperti keguruan, keterampilan, kesekretarisan, dsb. Sedangkan dalam program-program pembangunan, perempuan masih kurang memiliki kesempatan dan peran, baik sebagai penentu kebijakan, agen pembangunan (pekerja pembangunan), maupun peserta aktif. Biasanya perempuan hanya menerima manfaat pembangunan secara tidak langsung, yaitu dari suaminya. Walaupun demikian, perjuangan kesetaraan gender ditujukan kepada penguatan laki-laki dan perempuan, dengan kondisi yang dialami dalam suatu masyarakatnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *