Apa yang Diperlukan Petani Gurem di Jateng?

Advertisement

Juang Merdeka Jateng – Berdasarkan data BPS tahun 2023, dari 4,18 juta petani pengguna lahan di Jateng mayoritasnya merupakan petani gurem yaitu sekitar 3,47 juta.

Petani gurem adalah petani yang memiliki lahan garapan kurang dari setengah hektar. Sehingga hasil dari produksi pertaniannya biasanya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga petani.

Sebagaimana kegiatan produksi pertanian lainnya, petani gurem juga mengeluarkan sejumlah biaya meliputi pembelian bibit, obat pertanian, pupuk, upah tenaga kerja dalam proses tanam dan panen serta sewa tanah garapan. Dengan banyaknya jenis pengeluaran tersebut maka jika dikurangkan pada nilai jual produksinya keuntungan petani gurem sangat kecil.

Di kalangan petani, terbiasa mendengar idiom “ndawakke pangan”. Artinya kegiatan bertani hanya sekadar untuk memperpanjang ketersediaan pangan. Secara konseptual mungkin identik dengan ekonomi subsisten, yaitu kegiatan ekonomi yang hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Dalam keadaan normal sebagaimana petani lainnya, petani gurem juga bisa mendapatkan kemudahan seperti bantuan kredit dengan bunga rendah serta subsidi pupuk. Tetapi beberapa kondisi mengakibatkan kemudahan tersebut menjadi tidak sebanding ketika harga produk pertanian jatuh, gagal panen serta kondisi alam yang tidak mampu diatasi seperti kekeringan dan banjir.

Pertanyaannya adalah, dengan begitu banyaknya jenis pengeluaran, harga pertanian yang jatuh serta tantangan kondisi alam masih perlukah petani gurem mendapatkan bantuan lainnya?

Pahlawan Ketahanan Pangan

Mayoritas atau sekitar 76% petani Jateng adalah petani gurem maka mereka pulalah penghasil pangan terbesar di Jateng. Total produksi pangan Jateng sangat dipengaruhi dari total produksi kelompok petani gurem ini.

Menimbang sejumlah kendala yang mereka hadapi dalam memproduksi pangan di satu sisi dan besarnya peran yang sangat signifikan maka sepadanlah kalau petani gurem ini menjadi bagian dari pahlawan ketahanan pangan.

Penyematan predikat tersebut akan menjadi landasan filosofis sebagai cara pandang pada petani gurem dan perlakuan kebijakan yang diperlukan untuk menopang dan memperlancar kegiatan pertanian yang mereka jalankan.

Kebijakan yang dimunculkan hendaknya langsung menyentuh pada peringanan terhadap beragam jenis pengeluaran riil mereka dalam menjalankan produksi pertanian. Artinya kebijakan tersebut dalam kerangka memuliakan petani yang tentu saja beriring dengan memuliakan bumi atau lahan pertanian dan pemuliaan komoditi atau meningkatkan nilai produk petani.

Ketepatan sasaran kebijakan pertanian akan dirasakan  jika memang langsung menyentuh pada penurunan biaya produksi pertanian. Apalagi jika ternyata petani gurem tersebut berposisi sebagai penyewa lahan maka biaya produksinya juga bertambah besar.

Petani gurem pada kondisi penyewa lahan inilah yang mungkin secara spesifik memerlukan uluran tangan khusus. Butuh perlakuan yang bersifat charitatif, misalnya dengan memberi subsidi untuk mengurangi biaya sewa lahan.

Memang belum ada data yang fix tentang proporsi petani gurem penyewa lahan ini. Tetapi bukan terlampau sulit untuk mulai memperkirakan jumlahnya karena pelaku penyewa lahan ini setiap tahunnya melakukan lelang untuk mendapat lahan garapan. Sehingga, angka-angka perkiraan kasar sementara dapat diperoleh dari panitia lelang di tiap kelurahan atau desa.

Penulis : Tri Martana, Pengurus Petani Merdeka Blora.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *