Sisi Gelap Populisme dan Ancaman pada Demokrasi

Advertisement

Juang Merdeka Jateng – Populisme secara konsepsi dapat dikenali sebagai gejala adanya kelompok atau kelas pemilih mayoritas, khususnya “silent majority” atau kelompok mayoritas.

Populisme sebagai perilaku kelompok seringkali muncul bersamaan dengan munculnya sikap kecewa dan jenuh akan kondisi kehidupan dirasa semakin susah akibat terjadinya distorsi aspirasi dalam kebijakan-kebijakan krusial yang dibuat oleh politisi dominan dan elit berkuasa.

Pada tahap ini, kekecewaan pemilih terhadap elit politik menjadi rentan terhadap politisasi strategi populis. Politisi populis akan memanfaatkan keresahan mayoritas sebagai momentum untuk membangun relasi simbolik dan dukungan sosial guna meraup dukungan. Sehingga melahirkan sebuah gejala perilaku politik/konsolidasi menjadi sebuah arus baru bernama populisme.

Populisme sebagai fenomena politik dalam sistem demokrasi mendapatkan perhatian serius dalam diskursus perkembangan demokrasi. Fenomena populisme dalam demokrasi mulai dikenali dan memunculkan beragam bentuk konseptualisasi beserta ragam praktik politik terutama di benua Eropa dan Amerika Latin.

Pada kedua wilayah tersebut secara empirik dikenali adanya kelindan gejala dan  pertumbuhan populisme dalam proses-proses formal demokrasi.

 

Naiknya kekuatan populis dalam tampuk pemerintahan yang demokratis ternyata  memengaruhi kualitas perilaku politik dari sebuah rezim yang awalnya dipilih secara demokratik. Perilaku politik berbasis populisme memang tidak dengan sendirinya sebagai anti demokrasi.

Sehingga harus kembali dilihat bagaimana ketika ia berhadapan dengan sudut pandang yang berbeda, sudut pandang etik misalnya. Maka akan bisa dicerna proporsi demokratis dan tidaknya dari aktor-aktor politik tersebut. Sekaligus untuk menengarai potensi ancaman populisme pada ide dasar dan praktik demokrasi.

Potensi ancaman populisme pada demokrasi elektoral

Konsepsi demokrasi yang paling mendasar menurut Schumpter adalah model demokrasi elektoral. Dalam ekspresi minimalisnya, istilah ini mengacu pada prosedur persaingan berulang antara elit politik untuk mendapatkan suara, yang bermula dari gagasan kesetaraan politik, yaitu satu orang satu suara.

Pada praktiknya sisi gelap populisme oleh Mudde & Rovira Kaltwasser yang mensinyalir bahwa populisme melemahkan institusi inti demokrasi dan yang paling penting juga punya potensi melemahkan  supremasi hukum. Atas nama mayoritas hukum dilampaui. Dan ini mudah sekali ditumpangi untuk kepentingan-kepentingan yang jauh lebih sempit dan kerdil.

Para peneliti seperti  Houle & Kenny yang memfokuskan  perhatian mereka pada norma-norma dan institusi-institusi demokrasi tertentu dan menyimpulkan bahwa populisme adalah sebuah ancaman atau mempunyai potensi perbaikan terhadap institusi-institusi dan prosedur-prosedur demokrasi.

Apa yang dapat ditarik kesimpulan sementara dari pendapat para pakar tersebut adalah perlunya sintesis dan perbandingan sistematis mengenai hubungan ambivalen antara populisme dan berbagai model demokrasi. Ambivalensi tersebut dapat terlihat sekaligus dari  dua sudut pandang,baik dari sudut pandang ide maupun situasi empiriknya.

Sudut pandang ide yang mendasari berarti hendak mengomparasikan gagasan awal sekaligus praktik dari demokrasi dengan populisme. Relevansinya karena baik populisme maupun demokrasi, melahirkan seperangkat prinsip dan  norma yang sama-sama berangkat dari kehendak rakyat. Hanya saja populisme memberikan penekanan pada pemosisian mayoritas, sementara demokrasi justru memberi batasan pada mayoritas dengan konstitusi sebagai instrumen pokok dari  bangunan demokrasi. Sementara itu praktik-praktik pemerintahan yang mengklaim sebagai pemerintahan demokratik berada pada sudut pandang empirik. Kedua susdut pandang ini akan memberi penjelasan lebih lengkap tentang hubungan populisme dengan demokrasi.

Dengan meragamkan sudut pandang dengan pendekatan ide dan empirik  kita bisa beralih dari fokus utama pada lembaga-lembaga demokrasi liberal tertentu dan menuju pada penilaian yang lebih beragam mengenai dampak populisme juga pengaryuhnya terhadap konsepsi demokrasi.

Praktik populisme dalam pemerintahan demokrasi sangat kentara dalam varian demokrasi liberal yang dipraktikkan di Eropa dan Amerika Latin dengan menggunakan tiga variabel yaitu partai, kabinet dan masa jabatan kepala pemerintahan.

Populisme menurut Ochoa Espejo memang dapat membayangi pemerintahan demokratik menuju pada sentrisme rakyat, dengan fokusnya pada kedaulatan rakyatt. Praktik populisme melemahkan mekanisme akuntabilitas karena yang terpenting adalah terpenting adalah hasil pemilu sebagai otoritas yang ligitimatif yang sangat mendominasi.

Memang tidak serta merta harus dikatakan setara  Diktator Mayoritas tetapi memang dapat menjadi gejala awalnya.

Harapannya tentu saja pada pemerintahan yang berhasil dibentuk lewat gagasan  populisme lebih  menghargai proses-proses pemilu sebagai alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan keinginan rakyat dan untuk melegitimasi para pemimpin mereka dengan prosedur-prosedur bakunya.

Kecenderungan untuk mengakali proses pemilu karena adanya celah ragam tafsir norma-normanya akan menimbulkan setidaknya kecurigaan dari pihak-pihak yang berads diluar pemerintahan.

Populisme dapat menjadi candu dengan mengatasnamakan seluruh tindakannya dengan dalih telah mendapat legitimasi dalam menjalankan otoritasnya.

Populisme secara sosiologis akan menjadi bahaya jika disertai dengan usaha  mengarahkan pada homogenitas sosial yang berarti memosisikan keragaman berpotensi besar untuk mendapatkan labelling “ancaman” masyarakat. Labelling tersebut tentu saja sangat mengganggu dasar-dasar praktik demokrasi seperti sikap kritis, kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, keragaman berpendapat, pluralitas.

Dalam praktik politik , terutama dalam ranah dinamika wacana , muncul kecenderungan menjelek-jelekkan lawan politik dengan diksi yang demagogis. Pada sisi lain menggambarkan diri mereka sebagai satu-satunya penafsir sah atas keinginan rakyat. Strategi wacana semacam ini semakin meningkatkan resistensi antar kekuatan politik dan berbahaya pada pluralitas sebagai realitas

Kaum populis juga bisa membenarkan tindakan yang mengabaikan prosedur pemilu dan mengacaukan persaingan, sehingga mengancam salah satu ide inti demokrasi elektoral, yaitu adalah keadilan pemilu.

Berdasarkan analisis empiris yang dilakukan Saskia Paulline dan Sandra Graham, keduanya  mengkonfirmasi potensi erosi dari pemerintahan populis. Selain itu, kami menemukan bahwa efek korosif populisme ini berkurang seiring dengan semakin kuatnya institusi dan praktik demokrasi di setiap model demokrasi, termasuk demokrasi elektoral.

Beberapa argumen dalam literatur memang menunjukkan bahwa hubungan populisme dengan praktik demokrasi elektoral tidak bersifat  tunggal tetapi adanya  hubungan ambigu antara keduanya yang sama-sama muncul sebagai sistematisasi kehendak rakyat dan tipologi cakupan besaran kehendak rakyat.

Ambiguitas ini menurut Mair dan Urbanitti dapat ditelusuri kembali ke ketegangan antara gagasan inti populisme dan model demokrasi yang berbeda, seperti ‘kehendak rakyat’ dan pemerintahan perwakilan. Demokrasi dengan sifat cairnya memang memberi ruang pada pola gejala kehendak rakyat, salah satunya populisme.

Pakar lain telah menyelidiki apakah populisme di pemerintahan atau oposisi menimbulkan ancaman atau perbaikan terhadap kualitas demokrasi liberal misalnya  Juon & Bochsler, dan Vittori.

Sementara Canovan dan Laclau masih menyimpan optimisme bahwa dalam perkembangannya populisme akan mengalami proses revisi karena faktor internal maupun eksternal.

Bagaimanapun juga populisme belum sampai pada titik perkembangan terbaiknya sehingga masih selalu berupaya menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi.

Jika upaya untuk terus bersesuaian dengan demokrasi dilakukan terus menerus maka populisme mempunyai potensi untuk memperkuat institusi partisipasi politik dan meningkatkan hubungan perwakilan antara politisi dan warga negara.

Hal tersebut dikarenakan dalam demokrasi itu sendiri adalah batas-batas yang tidak mungkin dilampaui populisme. Misalnya prinsip persamaan derajat, keadilan dan prosedur-prosedur baku demokrasi  seperti pemilu dan mekanisme demokrasi langsung.

 

Penulis : Ahmad Mustakim, Komisioner KPU Kabupaten Blora.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *