Juang Merdeka Jateng – Dalam banyak kasus, berpikir skeptis bisa membantu kita membuat keputusan yang lebih baik. Misalnya dalam dunia politik dan media, berpikir skeptis mendorong kita untuk tidak langsung mempercayai berita atau klaim politik tanpa verifikasi. Orang yang skeptis akan mencari informasi dari berbagai sumber, memeriksa fakta, dan mempertimbangkan berbagai perspektif sebelum membuat kesimpulan.
Skeptisisme juga dpata mengarah pada hal yang negatrif jika kadar ketidak percayaan berada pada porsi yang berlebihan karena berpotensi menjadi antikritik. Mereka yang antikritik dan bahkan sulit menerima pendapat atau masukan dari orang lain bisa menciptakan jarak dengan orang-orang di sekitar, menurunkan kualitas hidup, dan menghambat perkembangan diri. Oleh karena itu, penting untuk memahami batas antara sikap skeptis yang sehat dan yang merugikan.
Mengubah sudut pandang terhadap kondisi politik yang dianggap belum ideal sebagai sesuatu yang “jadi/final” kepada sudut pandang “menjadi/berproses” menjadi salah satu cara untuk menghindarkan kerentanan skeptisisme menjadi sinisme terhadap pemilu kearah skeptisisme yang konstruktif menuju optimisme. Situasi politik masih terus berproses, kondisi yang belum ideal tidak boleh didiamkan tetapi memerlukan kesadaran dan partisipasi untuk mengubannya menjadi lebih baik.
Partisipasi memang bisa diposisikan sebagai hak, tetapi dalam situasi perlunya perubahan atau perbaikan terhadap situasi politik maka tiap individu dapat mengubahnya menjadi kewajiban. Lebih jauh lagi, ia juga meningkat dari level kesadaran menuju level kebutuhan.
2. Apatisme
Apatisme juga merupakan bentuk kerentanan kondisi psikologi sosial dalam pemilu yang mengarahkan pada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Apatisme politik dapat mengarah pada alienasi politik dimana tumbuh perasaan sistem politik tidak bekerja untuk mereka dan setiap upaya untuk memengaruhinya akan menjadi tindakan yang sia-sia. Konsekuensi elektoral yang paling umum dari alienasi politik yang dihasilkan dari sikap apatisme adalah abstain atau golput dlam proses pemungutan suara.
Rasa teralienasi sebagai akibat apatisme politik terbagi menjadi dua kategori besar yaitu dalam bentuk ketidakmampuan politik dan ketidakpuasan politik . Dalam kasus pertama, dipaksakan kepada individu oleh lingkungannya, sedangkan dalam kasus kedua, keterasingan tersebut dipilih secara sukarela oleh individu.
Apatisme merupakan tantangan yang cukup besar karena para pemilih dengan perasaan ini sudah mulai menarik garis batas yang tegas bahwa aspirasi politk mereka sama sekali berbeda dengan tujuan dari proses politik yang ada yaitu pemilu.
Kekhawatiran berikutnya adalah sikap apatisme ini lebih sering ditemukan pada pemilih pemula, dikarenakan mereka memiliki tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap sistem pemerintahan yang ada (Quinteller, 2007).
Muncul anggapan pada pemilih pemula bahwa tidak adanya calon yang dapat membawa perubahan atau setidaknya memberi harapan yang kongkrit membuat para pemilih pemula enggan berpartisipasi dalam kegiatan politik atau lebih memilih bersikap apatis.
Tanpa disadari keacuhan tersebut justru memperburuk keadaan politik Indonesia. Sikap apatis justru memberikan kesempatan kepada elite politik lama tetap bertahan dan semakin memporak-porandakan sistem politik Indonesia. Sebab hanya dengan partisipasi politik merekalah yang memungkinkan terjadinya proses perekrutan elite politik yang baru. Dengan begitu sikap apatis pemilih pemula memiliki implikasi yang buruk bagi masyarakat maupun sistem pemerintahan Indonesia.
Dalam beberapa riset dikatakan partisipasi politik sangat dipengaruhi oleh kepercayaan dan ketertarikan seseorang atas politik (McQuail, 1994; Oskarson, 2008; Putra, 2014; Yuliono, 2013; IPI, 2013). Dengan kata lain, rendahnya kepercayaan dan ketertarikan masyarakat terhadap politik akan berimbas sebaliknya, yaitu apatisme politik.
Gejala dari apatisme politik ini dapat dilihat dari kurangnya ketertarikan terhadap politik, ketidak percayaan terhadap institusi politik, dan keengganan seseorang untuk berpartisipasi dalam hal-hal yang berbau politik. Dan gejala ini terlihat jelas khususnya pada individu yang berumur 17 hingga 22 tahun.
3. Antipati Politik (anti politik)
Antipati adalah rasa ketidaksukaan untuk sesuatu atau seseorang, kebalikan dari sikap simpati. Antipati dapat dirangsang oleh pengalaman sebelumnya, kadang-kadang timbul tanpa adanya penjelasan sebab-akibat yang rasional untuk individu yang terlibat. Antipati merupakan kondisi psikologis dimana pemilih tidak hanya menarik garis tegas dengan situasi politik yang sedang terjadi tetapi juga keinginan yang kuat untuk menentangya.
Penetangan tersebut secara sosiologis bisa saja berada pada level kontravensi/penentangan secara diam-diam maupun pada level yang lebih tinggi yaitu konflik/penetangan terbuka. Anti-politik telah memfokuskan pemilih pada posisi penilaian negatif terhadap politisi dan elite politik oleh organisasi sipil, media dan warga negara sehingga mereka menentang agenda-agenda politik yang didlamnya melibatkan elemen-elemen tersebut.
Antipolitik secara psikologis menciptakan sebuah kontra sosial yang digunakan untuk menggambarkan pertentangan atau ketidakpercayaan terhadap proses politik konvensional yang telah terlembaga. Posisi ini terkait erat dengan sentimen antikemapanan dan menghendaki perubahan yang radikal pada posisi pemegang kekuasaan ataupun mengubah sistem itu sendiri.
Adanya kerentanan psikologi sosial terhadap pemilu dan pilkada berupa sikap skeptisisme, apatisme dan antipati memang harus disadarai sebagai sikap kolektif yang dilahirkan dari seluruh proses politik yang telah terjadi. Kerentanan tersebut dengan mudah dimengerti sebagai hasil proses politik ketika demokrasi telah dijalankan tetapi secara substantif tujuan demokrasi tidak tercapai oleh proses politik yang sah yang tengah dijalankan, dalam hal ini adalah pemilu dan pilkada. Perilaku pemilih ini didasari pada persepsi pemilih terhadap politik dalam jangka panjang , yaitu, bagaimana pemilih melihat partai, kandidat, dan isu dalam pemilihan umum.
Yang paling mengkhawatikan tentu saja adalah jika kerentanan tersebut terjadi pada kalangan pemilih pemula. Jika pemilih pemula tidak lagi tertarik pada politik tentu saja masa depan proses politik menjadi seperti tanpa arah, substansi dan tujuan sehingga mereka makin enggan untuk memilih. Kondisi ini tentu saja menjadikan proses demokrasi kita menjadi tidak efektif (sia-sia menajalankan proses pemilu yang mahal) dan tidak legitimate (prosentase pemilih yang rendah).
Menurut Quinteler (2007) ada dua hal yang menjadi penyebab utama para pemilih pemula tidak lagi tertarik terhadap politik baik ketika diekspresikan pada level skeptisisme-sinisme, apatisme dan antipati. Pertama, menurut mereka politik tidak merefleksikan persepsi para pemilih pemula. Kedua, pemilih pemula merasa kurang dilibatkan/terpinggirkan dalam sistem politik dikarenakan mereka masih muda, sehingga perpektif dan kepedulian pemilih pemula dalam politik tidak terwakili dengan baik. Pemilih pemula cenderung dijadikan sebagai objek politik ketimbang subjek politik.
Penulis : Ahmad Mustakim, S.Pd.I, Komisioner KPU Kabupaten Blora.