Juang Merdeka Jateng – Setiap kali Pemilu datang, tingkat partisipasi pemilih selalu menjadi salah satu tema sentral yang diperhatikan. Bukan hanya oleh lembaga penyelenggara, tetapi juga bagi lembaga pengawas, lemabaga pemantau, pengamat politik dan tentu saja parpol serta para calon. Pasalnya ada banyak faktor yang memengaruhi partisipasi pemilih termasuk diantaranya kerentanan psikologi sosial pemilih.
Kerentanan Psikologi Sosial Pemilih
Partisipasi pemilih merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan untuk menentukan legitimasi hasil pemilu. Selain itu tingkat partisipasi pemilih juga dapat digunakan untuk menilai kualitas pendidikan politik, kualitas kampanye dan efektivitas mesin politik dari parpol ataupun calon/kandidat.
Partisipasi pemilih dalam menggunakan haknya dipengaruhi oleh banyak faktor yang membentuk situasi psikologis sehingga mereka bersedia hadir dan menggunakan hak suaranya.
Sebagian dipengaruhi oleh impulse dari faktor-faktor eksternal antara lain :
1. Program atau kebijakan publik yang yang ditawarkan dan diperjuangkan oleh kandidat apabila dia ingin
memenangkan hati rakyat.
2. Citra Sosial (Social Imagery) adalah citra kandidat maupun partai di mata masyarakat.
3. Emotional and rational feeling, yakni dimensi emosional yang nampak dari seorang kandidat yang ditunjukkan oleh perilaku atau kebijakan-kebijakan yang ditawarkan, yang pada umumnya terlihat dari aktivitas, komentar kandidat terhadap suatu peristiwa tertentu yang dapat menyentuh hati pemilihnya.
4. Citra Personal Kandidat, adalah sifat-sifat khusus yang melekat pada seorang kandidat, dan yang membedakannya dengan kandidat yang lain.
5. Peristiwa mutakhir (current events), meliputi kumpulan peristiwa, isu, serta kebijakan yang berkembang selama masa kampanye sampai menjelang pemilihan umum.
6. Isu-isu Epistemik, yakni isu-isu pemilihan yang spesifik dan dapat memicu rasa keingintahuan pemilih
mengenai hal-hal yang baru (kontemporer). Isu-isu seperti ini dapat memiliki jangkauan resonansi yang luas pada pemilih karena beberapa faktor, misalnya karena populisme, faktor trend/viral dan kategori humanity issues.
Faktor-faktor eksternal tersebut terinternalisasi dalam diri pemilih dan menjadi preposisi terhadap partisipasi dan pilihan politiknya.
Karena berupa preposisi, secara psikologis proses internalisasi tersebut masih rentan. Terutama terhadap partisipasi pemilih jika yang bertumbuh adalah sikap skeptis, apatis dan antipati.
1. Sikap Skeptis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, skeptis adalah kurang percaya (terhadap keberhasilan ajaran dan sebagainya). Skeptisisme merupakan istilah yang merujuk pada skeptisisme, suatu aliran pemikiran yang menandai bahwa segala hal tidak dapat dianggap sebagai kepastian mutlak dan sebaliknya, dipandang dengan keraguan dan sikap waspada terhadap kebenarannya.
Skeptisisme pada dasarnya adalah suatu pendekatan dalam filsafat manusia yang terkait dengan kapasitas kognitif seseorang. Kata ini sering digunakan dalam konteks diskusi yang melibatkan pertimbangan mengenai suatu fenomena atau pandangan tertentu.
Jenis-jenis pandangan skeptis tersebut meliputi Skeptisisme Dogmatis, Skeptisisme Pyrrhonius, Skeptisisme Empiris Fondasionalis, dan Skeptisisme Rasionalis Fondasionalis.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, dalam kadar tertentu skeptisime memang dibutuhkan dalam demokrasi. Skeptisisme menjadi benih dalam diri pemilih, untuk merumuskan pilihan politiknya pada kualitas bernalar yang lebih baik.
Sinergitas Pengawasan dan Penguatan Civil Society
Kegiatan Pencegahan Pelanggaran Pemilu dan Pendidikan Politik
Spektrum Problem Pilkada 2024 (II)
Penulis : Ahmad Mustakim, S.Pd.I (Komisioner KPU Kabupaten Blora)