Spektrum Problem Pilkada 2024 (I)

Advertisement

Juang Merdeka Jateng – Beberapa problem dalam Pilkada 2024 berpotensi menjadi ancaman serius terhadap kualitas demokrasi. Secara historis kualitas demokrasi memang bisa mengalami penurunan, misalnya labelling demokrasi di Indonesia sebagai demokrasi proseduralis dan fenomena pseudo demokrasi. Problem-problem dalam Pilkada 2024 tersebut membentang dalam spectrum yang berbeda-beda tetapi  jika spectrum itu disatukan maka akan terlihat bahwa luasan bentangan spectrum yang dapat memberi gambaran potensi yang mengancam kualitas demokrasi.

Problem-problem tersebut antara lain; pergantian SDM (seleksi anggota bawaslu) di tengah tahapan pemilu, implikasi jika pengujian UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 serta durasi singkatnya masa kampanye yang tidak berimplikasi pada kesiapan distribusi logistic tetapi juga penurunan kualitas kampanye dari sisi pemilih.

Pergantian SDM (seleksi anggota Bawaslu) dan Pengujian UU Nomor 7/2017

Pergantian SDM (seleksi anggota Bawaslu) di tengah tahapan pilkada berpoptensi mengganngu kinerja kelembagaan Bawaslu dalam pelaksanaan pengawasan pada tahapan-tahapan yang tengah dijalankan dalam pilkada. Gangguan kinerja tersebut dapat dilihat dari dua sisi, pertama dari  proses pelaksanaan pengawasan tahapan pilkada dan kedua dari sisi kesenjangan kompetensi serta perbedaan ritme dan intensitas kerja.

Proses pergantian SDM di tengah jalan akan menggangu proses pelaksanaan pengawasan tahapan dalam pilkada. Pergantian tersebut mengakibatkan terjadinya tata ulang di internal lembaga Bawaslu. Tata ulang di tengah proses dapat menciptakan dua momentum yang mengganggu sekaligus yaitu mementum kedaruratan karena factor transisional dari SDM lama ke SDM yang baru). Kemudian juga menciptakan momentum penyesuaian ritme kerja dalam sebuah pola interaksi yang kompleks yang dalam faktanya tidak selalu berhasil dengan baik.

Hal ini dikarenakan kerja pengawasan tahapan pilkada memang melibatkan banyak jejaring tidak hanya di internal Bawaslu beserta jajarannya baik yang bersifat tetap maupun AD HOC tetapi juga relasi dengan berbagai stake holder di luar lembaga Bawaslu. Lembaga-lembaga diluar bawaslu ini  tentu saja tidak berada dalam kendali Bawaslu. Ritme kerja yang berubah dan kualitas kinerja yang mungkin berbeda  dapat menyebabkan munculnya kontraksi-kontraksi dalam jajaring pengawasan di internal Bawaslu beserta jajarannya termasuk juga dengan stake holdernya. Padahal tahapan-tahapan dalam pilkada sudah mempunyai kettapan waktu yang terprogram dengan detail.

Tahapan-tahapan dalam pilkada berlangsung sangat cepat sehingga dalam proses pengawasan membutuhkan  intensitas dan kontinuitas yang tinggi karena satu tahapan dengan tahapan lainnya dalam pilkada  selalu berada dalam satu continuum/tahapan siklus.  Pergantian SDM di tengah jalan tentu akan memunculkan kesenjangan kompetensi antar SDM yang baru  dengan SDM yang sedang menjalankan tugas. Kesenjangan tersebut terutama pada tingkat penguasaan tupoksi terhadap proses pengawasan pada tahapan pilkada yang telah dijalankan, tengah dijalankan dab yang akan dijalankan.

Proses ini jelas mengganggu intensitas dan kontinuitas pengawasan, minimal karena komisioner yang masih ada dalam Bawaslu yang sudah berjibaku dengan tupoksinya sendiri masih terbebani untuk membantu mentransformasikan ke komisioner Bawaslu yang baru. Semakin banyak SDM yang diganti maka proses transformasi tersebut semakin berat dan akan mengganggu ritme dan intensitas pengawasan pada tahapan pilkada. Momentum ini berpotensi menurunkan kualitas kinerja Bawaslu dan dengan sendirinya kualitas pengawasan terhadap pilkada dan itu berarti penurunan kualitas pelaksanaan demokrasi juga.

Pengujiuan norma hukum (UU No 7 tahun 2017) ditengah proses dan tahapan yang tengah terjadi juga berpotensi mengganggu ritme dan pengawasan terhadap tahapan yang tengah terjadi.. Hal ini biasanya akan diikuti dengan perubahan aturan-aturan yang ada dibawahnya sehingga aturan baru tersebut serta merta harus berhasil disosialisasikan-diinternalisasikan-diimplementasikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat. Tentu kondisi ini menciptakan “jeda” sesaat dari aturan lama ke aturan baru. Dan itu jelas memberikan gangguan terhadap ritme dan kontinuitas pengawasan dan bisa berujung pada kekacauan dan penurunan kinerja. Apalagi jika putusan yang ada diberlakukan ditengah tahapan yang tengah dijalankan.

Penulis : Andyka Fuad Ibrahim (Ketua Bawasalu Kabupaten Blora)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *