Supremasi Civil Society dalam Pemberlakuan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60

Advertisement

Juang Merdeka Jateng – Dinamika penguatan supremasi civil society pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 maupun 70 dapat menjadi momentum penguatan partisipasi civil society dalam pengawasan Pilkada 2024.

Betapa masyarakat atau civil society dapat merespon secara massif dan spontan terhadap proses demokrasi yang tidak sehat.

Kemudian terjadilah persaingan hegemoni antara civil society sebagai pemilik mandat yang sedang menjalankan fungsi kontrolnya kepada kinerja institusi produk proses demokrasi sebagai penerima mandat (DPR dan Pemerintah).

Bergeraknya civil society yang secara diametral berhadap-hadapan langsung dengan DPR sebenarnya  sebagai ironi berbentuk tragedy mandatory.

Tragedi ketika penerima mandat tidak berada dalam satu tarikan nafas yang sama dengan pemilik mandat, entah masih pada level competition maupun sudah dalam level conflict diantara keduanya. Rakyat menghendaki putusan MK dipatuhi dan dijalankan tetapi secara kasat mata rakyat juga melihat adanya usaha pembangkangan terhadap keputusan tersebut.

Putusan MK Nomor 60 MK memutuskan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota) meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Namun, mereka harus mendapatkan minimal jumlah suara sah tertentu dalam Pemilu DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah di pilkada, dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia calon kepala daerah.

Respons awal DPR atas dua putusan ini pun memicu amarah publik lantaran dinilai bertentangan dengan mekanisme konstitusional.

Dekan Fakultas Hukum UGM Dahliana Hasan menilai langkah yang dilakukan DPR dan Presiden yang hendak merevisi UU Pilkada yang menganulir Putusan MK tersebut dinilai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan legislasi otoritarian.

Revisi UU Pilkada yang dilakukan secara tertutup, tergesa-gesa, dan mengabaikan aspirasi publik mengindikasikan  corak legislasi otoritarian (autocratic legalism) yang dibuat bukan untuk tujuan pelembagaan demokrasi, melainkan kepentingan anti-demokratis untuk kepentingan dinasti politik dan golongan elit politik tertentu.

Akibat desakan dari beragam komponen dalam civil society, DPR pun akhirnya memutuskan membatalkan pengambilan keputusan persetujuan RUU Pilkada menjadi UU. Akhirnya DPR menyetujui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Komisi II DPR RI secara resmi menyetujui revisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 tahun 2024 tentang pencalonan kepala daerah Pilkada 2024.

Dinamika politik yang akhirnya memenangkan keputusan MK tersebut menyangkut dimensi-dimensi yang mendalam tentang prinsip-prinsip demokrasi berupa persaingan hegemoni antara civil society (mahasiswa, masyarakat, kelompok cendekiawan, pers) sebagai pemilik mandat yang sedang menjalankan fungsi kontrolnya dengan institusi produk proses demokrasi sebagai penewrima mandate (DPR dan Pemerintah).

Persaingan tersebut seharusnya tidak terjadi jika DPR dan Pemerintah memosisikan dirinya sebagai wakil rakyat/penerima mandat yang semestinya peka terhadap suasana kebatinan dan kehendak rakyat itu sendiri.

Bergeraknya civil society yang secara diametral berhadap-hadapan langsung dengan DPR sebagai sebuah tragedy mandatory karena masyarakat secara kasat mata mampu melihat DPR sebagai representasi partai-partai mengulangi pembiaran ragam kebijakan yang berseberangan dengan aspirasi mulai dari UU KPK, Omnibus Law dan terakhir membangkang terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60.

Kemenangan civil society sehingga Keputusan MK Nomor 60 dan juga 70 ditindaklanjuti menjadi modal sosial yang positif. Modal sosial ini hendaknya juga dapat diinstitusionalisasikan (diproyeksikan, diadopsi, difungsikan, disistematisasi dalam program) dalam pengawasan Pilkada 2024.

Supremasi Civil Society

Ernest Gellner mengungkapkan anatomi civil society  terdiri atas institusi non – pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi negara.

Indikator Civil Society menurut Nurcholis Madjid  berupa adanya kedaulatan rakyat sebagai prinsip kemanusiaan danmusyawarah, Berpartisipasi dan mengambil bagian dalam proses – proses menentukan kehidupan bersama, terutama dibidang politik dan memiliki sikap – sikap terbuka, lapang dada, penuh pengertian dankesediaan untuk senantiasa membermaaf secara wajar dan padatempatnya

Secara filosofis, historis dan politis, civil society dan demokrasi  memiliki hubungan yang sangat erat.

Thomas Hobbes menyatakan bahwa masyarakat sipil atau civil society identik dengan negara, sebagai  perwujudan dari kekuasaan absolut/ terbesar dan tertinggi.

Masyarakat sipil hadir untuk meredam konflik dan mencegah agar masyarakat tidak chaos dan anarki. Untuk mengontrol dan mengawasi perilaku politik warga, masyarakat sipil harus memiliki kekuasaan yang mutlak.

Sementara itu, Locke berpendapat bahwa masyarakat sipil hadir untuk menjaga kebebasan warga dan melindungi hak-hak milik individu. Masyarakat sipil harus demokratis, tidak boleh absolut.

Rousseau, Hobbes, dan Locke tidak membedakan konsep antara masyarakat sipil (civil society), masyarakat politik (political society), dan negara (state) sebagai entitas atau domain politik yang terpisah. Locke misalnya mendefinisikan masyarakat sipil sebagai “masyarakat politik”. Lebih jauh Locke, mengatakan bahwa seharusnya civil society unsur terpenting pembentuk negara.

Dengan demikian, jika negara tidak mampu menyejahterakan warga negaranya, maka warga negara dapat mengindahkan negara dan melakukan perlawanan.

Tokoh lain, Anthonio Gramsci memandang masyarakat sipil lebih pada sisi ideologis. Pandangan Gramsci tersebut memberikan peran penting kepada kaum cendekiawan sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik.

Menurut Gramsci, masyarakat sipil merupakan penyeimbang kekuatan negara. Civil society merupakan arena tempat berbagai ideologi bekerja dan menggunakan hegemoni mereka untuk mencapai konsensus. Masyarakat sipil juga merupakan pemegang hegemoni negara karena masyarakat sipil merupakan sumber kekuatan negara.

Dengan posisi penting yang dimilikinya maka ada banyak peran penting yang dapat dijalankan eksponen dalam civil society dalam Pilkada. Salah satunya adalah pengawasan dan kontrol pada tahapan proses-proses Pilkadanya itu sendiri.

Dan yang lebih luas dari itu juga melakukan pengawasan dan kontrol dalam proses politik lainnya baik pada level seleksi maupun dalam praktik kebijakan/legacy dari institusi-institusi demokrasi.

KPU Blora: Kelengkapan Persyaratan Pencalonan Kedua Bapaslon pada Aplikasi SILON Diterima Lengkap

Penulis : Andhika Fuad Ibrahim ( Ketua Bawaslu Kabupaten Blora)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *