Tri Martana

  • Sastra

    Curut-curut

    Juang Merdeka, Jateng – “Curuut !” “Brakk !” Teriakan  Tuan Teddy dari ruang atas dan suara benturan keras sebuah benda membuat rumah mewah itu seperti diguncang gempa. Efek kejutnya makin menggigit karena itu terjadi di pagi yang masih buta. Normalnya pagi identik dengan kedamaian dan ketenangan. Waktu di mana  keremajaan perasaan mulai mekar bersamaan dengan terkoyaknya selubung malam oleh warna merah saga, warna temaram  fajar. Fajar yang menjadi pertanda dimulainya sebuah hidup baru di hari baru. Teriakan Tuan Teddy seperti memutar balik waktu, bukan hari baru yang akan dihadapi tetapi mimpi buruk yang baru dimulai. Mimpi buruk yang tiba-tiba muncul saat malam mulai menepi. Mimpi buruk bagi seluruh penghuni rumah Tuan Tedy. Rasa takut mulai membayangi Kang Kempil  penjaga dan perawat kebersihan rumah, Jon Tarjo tukang bersih-bersih taman dan gudang. Termasuk Sofi, isteri tuan Teddy tak kalah takutnya. Aturan yang berlaku, setiap Tuan Teddy marah, mereka semua harus segera merasa bersalah. Semua bergegas naik ke ruang atas. Membawa rasa takut sekaligus kesediaan menghamparkan kesetiaan menunggu perintah. Ya…dalam keadaan Tuan Teddy marah, simbul-simbul kesetian menjadi sangat berharga dan secara kasat mata harus ditunjukkan. Bila perlu dengan cara yang berlebih-lebihan untuk memperjelas kesenjangan antara mereka sebagai pembantu dan Tuan Teddy sebagai Tuannya.…

    Read More »
  • Sastra

    Pemancing dari Surga

    Juang Merdeka Jateng – “Kek Jani termasuk orang yang mampu meletakkan kasih sayang sebagai penjuru mata hati. Itulah sebabnya ia mendapat julukan Pemancing dari Surga. Julukan yang diberikan almarhum Kyai Mukmin, ayahanda Kyai Jamil,” kata Kang Zaenal sambil menikmati pijitan Tofa. Sejak kedatangan Kek Jani ke pesantren ini memantik rasa keingintahuan para santri, termasuk Tofa. Terutama karena keanehan julukannya. Dalam benak Tofa,  julukan itu terasa terlampau tinggi.  Tidak sebanding dengan kesalehan Kek Jani yang ia saksikan sehari-hari. Tak ada yang istimewa dari lelaki yang katanya berumur lebih dari sembilan puluh tahun itu. Setiap hari kerjanya hanya  memancing,  salat dan tidur. Tak ada yang lain. Lalu, apa istimewanya ? Bahkan sering terlihat linglung. Tidak pernah bicara tetapi kadang-kadang tersenyum sendiri. Anehnya Kyai Jamil selalu mencium tangannya ketika bersalaman. Dari sisi mana ia pantas mendapat kehormatan itu? Makin bertambah pertanyaan yang menyeruak dan terus mengusik nalar Tofa berhari-hari.  Pada Kang Zaenal ia berusaha mendapat jawaban. Dengan sogokan memberinya pijitan. “Apa fungsi kasih sayang sebagai penjuru mata hati, Kang?” Tak ada jawaban dari Kang Zaenal, dengkuran halusnya mulai terdengar. Karena penasaran Tofa memijit lebih keras betis Kang Zaenal. Kang Zaenal meringis dan terbangun. Tofa mengulangi pertanyaannya. Kang Zaenal terdiam. Berusaha keras membuka labirin-labirin ingatan…

    Read More »