Hujan di Atas Kenangan

Advertisement

Juang Merdeka – Aku berdiri di depan jendela, menatap hujan yang turun deras membasahi jalan-jalan kota yang kosong. Tetesan air jatuh seperti air mata langit, membasuh kenangan-kenangan yang tak ingin ku lupakan.

Tiba-tiba, aku mendengar suara lembut di belakang ku.

“Apa yang kamu pikirkan?” dia bertanya, suaranya seperti angin sepoi yang menyentuh hati ku yang luka.

Aku tidak berbalik, tetap memandang hujan. “Aku memikirkan tentang kita,” jawab ku, suaraku hampir tak terdengar di tengah deru hujan.

Dia melangkah mendekat, berhenti di sebelah ku. “Apa yang kamu ingat tentang kita?” tanya nya lagi, nada suaranya penuh kehati-hatian.

Baca Juga:  Upacara Pembukaan Persami dalam Rangka Penerimaan Anggota Baru Gudep 04.79-04.80 Pangkalan SMPN 1 Tunujungan

Aku menarik napas dalam, merasakan sakit yang tak kunjung pergi. “Aku ingat malam pertama kita bertemu. Kamu tersenyum dan aku langsung jatuh. Aku ingat bagaimana kita pernah berjanji untuk selalu bersama, tapi…”

Dia tidak membiarkan ku selesai. “Tapi aku pergi,” dia berkata, suaranya terpotong oleh kesedihan. “Aku pergi karena aku pikir itu yang terbaik untuk kamu. Aku tidak ingin jadi beban.”

Aku menoleh, melihat mata nya yang basah oleh air mata yang ditahan. “Kamu salah,” kataku pelan. “Kamu bukan beban. Kamu adalah bagian dari aku yang paling berharga.”

Baca Juga:  Upacara Pembukaan Persami dalam Rangka Penerimaan Anggota Baru Gudep 04.79-04.80 Pangkalan SMPN 1 Tunujungan

Dia menunduk, air mata nya jatuh ke lantai. “Aku tahu aku salah. Aku tahu aku seharusnya tidak pergi. Tapi aku takut, aku takut tidak bisa membuat kamu bahagia.”

Hujan di luar semakin deras, seperti sedang menangisi bersama kami. Aku mengulurkan tangan, menyentuh pipi nya yang basah. “Kamu membuat aku bahagia saat itu. Kamu membuat aku merasa hidup. Tapi sekarang… sekarang aku hanya merasa kosong.”

Dia memandang ku, mata nya merah karena menangis. “Maaf,” dia bisikkan. “Maafkan aku.”

Aku menarik nafas berat, merasakan sakit yang tak terobati. “Aku sudah memaafkan,” kataku. “Tapi kenapa rasanya masih sakit? Kenapa rasanya seperti kehilangan sesuatu yang tak akan kembali?”

Baca Juga:  Upacara Pembukaan Persami dalam Rangka Penerimaan Anggota Baru Gudep 04.79-04.80 Pangkalan SMPN 1 Tunujungan

Dia tidak menjawab. Kami hanya berdiri di sana, bersama dalam kesedihan, sementara hujan terus turun membasuh kenangan-kenangan kami yang telah sirna.

“Aku pergi dulu,” dia berkata akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.

Aku mengangguk pelan. “Ya, pergilah.”

Dia berbalik dan pergi, meninggalkan aku sendirian dengan hujan dan kenangan. Aku menutup mata, membiarkan air mata ku sendiri jatuh, bercampur dengan tetesan hujan di wajah ku.

 

Penulis : Mel D. Anggraeni

3 Comments

  1. Cerpen ini menawarkan alur cerita yang menarik dengan kejutan yang tak terduga di setiap babaknya. Penulis berhasil membangun ketegangan yang membuat pembaca terus penasaran.

    Karakter-karakter dalam cerpen ini terasa hidup dan memiliki kedalaman emosional. Konflik yang dihadapi tokoh utama sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari.

    Bahasa yang digunakan penulis sangat indah dan deskriptif, mampu menghidupkan suasana dan latar cerita. Penggunaan metafora dan simile menambah nilai estetika cerpen ini.

    Namun, ada beberapa bagian yang terasa sedikit lambat dan kurang fokus. Beberapa dialog juga terkesan kurang alami dan tidak sesuai dengan karakter tokoh.

    Secara keseluruhan, cerpen ini sangat menghibur dan memberikan pengalaman membaca yang memuaskan. Pesan moral yang disampaikan juga sangat kuat dan relevan.

    Cerpen ini layak dibaca oleh siapa saja yang mencari cerita yang menghibur, mendebarkan, dan bermakna. Penulis memiliki potensi besar untuk terus berkembang dan menghasilkan karya-karya yang lebih baik lagi.

    Semoga ulasan ini bermanfaat!

  2. Nama Siti Mutmainah
    Kelas 9H
    Absen: 29
    Cerita ini memiliki nuansa melankolis yang kuat sejak awal.
    Gambaran hujan berhasil membangun suasana sedih dan penuh kenangan.
    Hujan digunakan sebagai simbol air mata langit, yang memperdalam emosi cerita.
    Narator tampak sedang memendam luka hati yang belum sembuh.
    Kehadiran sosok lain memberi dinamika, seakan ada percakapan batin yang diwujudkan.
    Dialog singkat namun sarat makna, membuat pembaca ikut merasakan kesunyian.
    Pertanyaan “Apa yang kamu pikirkan?” menghadirkan kesan intim dan penuh kepedulian.
    Jawaban narator yang pelan menandakan ada beban berat di dalam hatinya
    Tokoh yang bertanya digambarkan dengan suara lembut, kontras dengan luka hati narator.
    Narasi menggunakan banyak metafora, seperti air mata langit, yang menambah keindahan bahasa.
    Cerita ini terasa seperti potongan kecil dari kisah cinta yang lebih panjang
    Pembaca bisa merasakan ketegangan emosional antara kenangan indah dan rasa kehilangan.
    Kehadiran hujan juga memberi nuansa romantis sekaligus tragis.
    . Penulis berhasil membuat pembaca bertanya-tanya tentang masa lalu “kita” yang dimaksud.
    Ada kesan bahwa tokoh ini belum siap melepaskan kenangan yang menyakitkan.
    Suasana yang diciptakan cocok untuk genre drama atau romance yang penuh konflik batin.
    Kalimat-kalimatnya singkat, padat, dan penuh perasaan.
    Perasaan sunyi dan sepi kota ikut memperkuat suasana batin tokoh utama.
    Ending terbuka membuat pembaca ingin tahu kelanjutan percakapan itu
    Secara keseluruhan, cerita ini puitis, emosional, dan menyentuh hati pembaca.

  3. Cerita ini memiliki nuansa melankolis yang kuat sejak awal.
    Gambaran hujan berhasil membangun suasana sedih dan penuh kenangan.
    Hujan digunakan sebagai simbol air mata langit, yang memperdalam emosi cerita.
    Narator tampak sedang memendam luka hati yang belum sembuh.
    Kehadiran sosok lain memberi dinamika, seakan ada percakapan batin yang diwujudkan.
    Dialog singkat namun sarat makna, membuat pembaca ikut merasakan kesunyian.
    Pertanyaan “Apa yang kamu pikirkan?” menghadirkan kesan intim dan penuh kepedulian.
    Jawaban narator yang pelan menandakan ada beban berat di dalam hatinya
    Tokoh yang bertanya digambarkan dengan suara lembut, kontras dengan luka hati narator.
    Narasi menggunakan banyak metafora, seperti air mata langit, yang menambah keindahan bahasa.
    Cerita ini terasa seperti potongan kecil dari kisah cinta yang lebih panjang
    Pembaca bisa merasakan ketegangan emosional antara kenangan indah dan rasa kehilangan.
    Kehadiran hujan juga memberi nuansa romantis sekaligus tragis.
    . Penulis berhasil membuat pembaca bertanya-tanya tentang masa lalu “kita” yang dimaksud.
    Ada kesan bahwa tokoh ini belum siap melepaskan kenangan yang menyakitkan.
    Suasana yang diciptakan cocok untuk genre drama atau romance yang penuh konflik batin.
    Kalimat-kalimatnya singkat, padat, dan penuh perasaan.
    Perasaan sunyi dan sepi kota ikut memperkuat suasana batin tokoh utama.
    Ending terbuka membuat pembaca ingin tahu kelanjutan percakapan itu
    Secara keseluruhan, cerita ini puitis, emosional, dan menyentuh hati pembaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *