Pemancing dari Surga

Advertisement

Juang Merdeka Jateng – “Kek Jani termasuk orang yang mampu meletakkan kasih sayang sebagai penjuru mata hati. Itulah sebabnya ia mendapat julukan Pemancing dari Surga. Julukan yang diberikan almarhum Kyai Mukmin, ayahanda Kyai Jamil,” kata Kang Zaenal sambil menikmati pijitan Tofa.

Sejak kedatangan Kek Jani ke pesantren ini memantik rasa keingintahuan para santri, termasuk Tofa. Terutama karena keanehan julukannya. Dalam benak Tofa,  julukan itu terasa terlampau tinggi.  Tidak sebanding dengan kesalehan Kek Jani yang ia saksikan sehari-hari. Tak ada yang istimewa dari lelaki yang katanya berumur lebih dari sembilan puluh tahun itu. Setiap hari kerjanya hanya  memancing,  salat dan tidur. Tak ada yang lain.

Lalu, apa istimewanya ? Bahkan sering terlihat linglung. Tidak pernah bicara tetapi kadang-kadang tersenyum sendiri. Anehnya Kyai Jamil selalu mencium tangannya ketika bersalaman. Dari sisi mana ia pantas mendapat kehormatan itu? Makin bertambah pertanyaan yang menyeruak dan terus mengusik nalar Tofa berhari-hari.  Pada Kang Zaenal ia berusaha mendapat jawaban. Dengan sogokan memberinya pijitan.

“Apa fungsi kasih sayang sebagai penjuru mata hati, Kang?”

Tak ada jawaban dari Kang Zaenal, dengkuran halusnya mulai terdengar. Karena penasaran Tofa memijit lebih keras betis Kang Zaenal. Kang Zaenal meringis dan terbangun. Tofa mengulangi pertanyaannya. Kang Zaenal terdiam. Berusaha keras membuka labirin-labirin ingatan pada sebuah pembicaraan singkatnya dengan Kyai Jamil.

“Panduan yang menjadi ciri khas orang-orang alim”.

Setelah itu Kang Zaenal terdiam. Tofa juga  terdiam tapi pikirannya makin berkecamuk.

“Jadi Kek Jani tergolong orang alim, Kang?” Kesimpulan sederhana yang semampunya ia lontarkan. Tak ada jawaban lagi. Dengkuran Kang Zaenal bertambah keras. Sekeras kecamuk pikiran Tofa yang beranjak menuju beranda masjid.

Dalam sarung ia meringkuk berhimpitan dengan santri lain yang telah terlelap di sana. Dingin lantai masjid mulai membekukan kecamuk pikirannya. Tetapi gerbang kesadarannya tak tertutup sepenuhnya.  “Aku akan ke sana”. Perlahan Tofa mengendap ke bilik Kek Jani dalam naungan gelap.

Di dalam bilik, Kek Jani telah lama merebahkan tubuh di balai-balai bambu, beralas tikar pandan. Tangannya memeluk erat bambu kuning sepanjang satu depa. Bambu yang ia jadikan joran pancing. Tidak jelas apa yang ia wiridkan dari bibirnya. Seakan-akan dinding, balai-balai bambu bahkan udara di ruangan itu tidak boleh tahu apa yang ingin ia ucapkan. Semua disembunyikan dalam hatinya yang bergemuruh. Hanya air mata yang keluar,  berkilau-kilau seperti permata merembes di pipi. Dan tangannya makin erat memeluk joran pancing kesayangannya.

Kek Jani beranjak ke tempayan air di sudut bilik.  Remang lampu terpantul dari air dalam tempayan. Cukup lama Kek Jani menatapnya. Tangannya dimasukkan ke dalam tempayan. Kemudian dengan pelan meraba seluruh dasarnya. Tiba-tiba tangannya bergerak makin cepat. Seperti berusaha menangkap sesuatu yang terus bergerak di dasar tempayan.

Kemudian ia mengambil joran dan mulai memancing di tempayan air. Berkali-kali joran dikibaskan seakan umpannya disergap ikan. Wajahnya terlihat puas berhias raut kegembiraan. Sementara itu dari celah-celah dinding bilik, sepasang mata terperangah menyaksikannya, “Gila !” Kemudian surut dan  berjingkat meninggalkan bilik Kek Jani menuju beranda masjid. Menyambung tidur yang terpenggal. Tanpa disadari peci putihnya tersangkut ranting.  Sebuah peristiwa lain mengintainya.

***

Khusuknya zikir setelah subuh beriringan dengan hembusan angin nan sejuk. Ditemani fajar yang mulai merekah di ufuk timur. Masing-masing tenggelam mengikuti lafal zikir yang dilantunkan Kyai Jamil. Suasana hidmat merantai pikiran-pikiran keduniawian semata. Tempaan-tempaan yang rutin dilakukan setiap pagi dari subuh hingga menginjak waktu duha.

Tofa bersimpuh di saf paling belakang terlihat resah. Sesekali mencuri-curi pandang. Mencari  seseorang di saf lain. Ternyata orang itu ada tepat di belakang Kyai Jamil. “Aman !” pikirnya.

Tofa bergegas ke kamar kecil yang ada di sebelah kiri masjid. Bukannya masuk tetapi terus ke belakang masjid dan akhirnya berbelok ke bilik Kek Jani yang ada di sebelah kanan masjid. Rumpun bambu di depan bilik menghalanginya dari penglihatan yang sedang berzikir di dalam masjid. Pandangan matanya tertuju ke dinding tempat aksinya semalam. Pecinya tak ada di sana. Jangan-jangan…?

Setelah berhitung sejenak ia memutuskan masuk ke bilik. Masih cukup waktu. Bilik tidak terkunci. Tetapi tak ada pecinya di sana. Ketika pandangannya tertuju pada joran pancing dan tempayan air, urusan peci lenyap dari pikiran.

Dua benda itu seperti magnet yang menyedot kesadarannya.  Benar-benar gila ! Joran pancing itu ternyata menggunakan senar dari beberapa helai ijuk yang disambung-sambung. Tak ada mata kail di ujungnya. Lalu apa yang dipancing Kek Jani ?  Tempayan menjadi sasaran berikutnya. Tak ada apa-apa selain air. Ditatapnya lebih cermat, tetap tidak ada apa-apa. Ia masukkan tangan ke dalam air, tidak menemukan apa-apa. Kemudian mencoba memancing ke dalam tempayan.Tidak terjadi apa-apa.

Sebuah tepukan di pundak membuat jantungnya terasa lepas. Ketakutan menghimpit hingga ia merasa menjadi pecundang kerdil yang terpuruk. Dalam ketakutan, tubuh renta Kek Jani seakan bertiwikrama dalam tubuh baru yang muda perkasa. Pemandangan yang membuat Tofa terguncang. Seperti diayunkan melintasi ruang dan waktu. Terlempar di sebuah dunia baru. Sebuah padang rumput yang hijaunya tak terkira. Di tengahnya ada telaga dengan kejernihan air yang  tak terkira juga.

Kek Jani muda mulai memancing di telaga. Ikan-ikan dengan ganas menyergapnya. Ikan yang belum pernah dilihat Tofa. Tofa mencoba mengambil salah satu ikan yang berhasil ditangkap Kek Jani. Tapi tangannya seperti menyentuh bayang-bayang saja. Ketika berusaha menjangkau air di tepi telaga, seperti bayang-bayang air juga. Tangannya tetap kering. “Subhaanallah, apa Kek Jani dengan joran pancingnya fatamorgana juga ? Ataukah aku sendiri yang tidak nyata ?” Bulu kuduk Tofa merinding.

Langit yang menaungi padang hijau dengan telaganya tiba-tiba menjadi gelap. Kek Jani lenyap dari pandangan. Ada cahaya benderang di kejauhan, Tofa bergegas mengejarnya. Entah berapa jauh entah berapa lama, rasa lelah benar-benar mendera. Ketika berhasil mencapainya,  ia telah berada di luar bilik Kek Jani. Di bawah rimbun rumpun bambu.  Beberapa peci terlihat tersangkut di ranting yang menjulur kemana-mana. Peci Tofa ada di sana. Beberapa peci lainnya juga. Tofa hapal betul, ini peci Kang Zaenal, itu peci Sarno. Lainnya peci Harun, Jais, Kak Salim, Kak Hadi dan Kang Ripan. Berarti ???

Suara zikir masih terdengar. Tofa kembali ke saf paling belakang. Seperti ketika ia meninggalkannya. Dan di saf pertama tepat di belakang Kyai Jamil, Kek  Jani masih bergeming di sana.

***

 Malam harinya para pemilik peci berkumpul. Berbagi kegelisahan dan pengalaman lancang  yang sama. Kelancangan yang memaksa mereka harus menghadap Kyai Jamil.          Semua tertunduk. Kyai Jamilpun terdiam.

“Mungkin sudah waktunya,” suara hangat Kyai Jamil memecah kebisuan.

“Maafkan kelancangan kami, Kyai,” kata Kang Zaenal. Berangsur, mereka mulai berani melemparkan pandangan pada Kyai Jamil. Kyai Jamil membuka sebuah buku tua. Kertasnya berwarna coklat kumal.

“Ini buku peninggalan ayahku, Kyai Mukmin. Beberapa halaman berisi catatan tentang Kek Jani, sahabat karibnya. Nama aslinya Zaini, tetapi lebih sering dipanggil dengan sebutan Kek Jani. Waktu pertempuran Surabaya, kepalanya dipukul dengan popor senapan oleh pasukan Gurkha. Pada saat itu ia sedang melindungi ayahku yang terluka kakinya. Maka sejak saat itu Zaini atau Kek Jani ini seperti berada di dua dunia. Dunia sadar dan dunia ketidaksadaran akibat hantaman popor senapan itu.”

***

Kyai Jamil mengakhiri ceritanya. Para santri sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Mereka bergegas menuju bilik Kek Jani. Pintu bilik terbuka dan Kek Jani tak ada di dalamnya. Tidak juga dengan joran pancing bambu kuningnya. Ragu mereka melangkah menuju tempayan di sudut bilik. Ketika menatap permukaan airnya, wajah-wajah siapa yang ada di sana ???

Panohan, 30/12/2017

 

Penulis  : Tri Martana

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close