Juang Merdeka, Jateng – Genderang kampanye ditabuh. Mesin-mesin partai mulai terang-terangan unjuk gigi.
Jauh sebelumnya sebenarnya telah dimulai dengan kampanye sembunyi-sembunyi sebelum waktunya. Sepertinya semacam ada kesepakatan tidak tertulis, boleh curang dengan mencuri start kampanye asal dilakukan bersama-sama dan saling mendiamkan kecurangan partai lain.
Modusnya bisa dengan bakti sosial, pasar murah, pengobatan gratis, mentraktir orang-orang di warung,menyumbang bola sampai pura-pura mengedarkan kalender padahal tahun baru masih lima bulan lagi.
Seperti siluman semua petugas partai menyerbu segala sisi desa dengan tempelan stiker di pintu, di pohon hingga semua sudut desa dan tempat strategis lainnya sudah terpasang puluhan gambar calon dari berbagai partai. Kadang-kadang calon dari partai yang sama harus saling berebut tempat untuk menancapkan poster. Bukan hanya calon untuk wakil rakyat di tingkat daerah, terpasang pula gambar calon di tingkat propinsi sampai pusat.
*****
“Heran saya, Kang. Siapa ya yang memasang poster-poster itu semalam. Tiba-tiba puluhan poster sudah terpasang,” kata Sarmu sambil menyeruput kopi panasnya. Godril yang sedang memesan kopi pada Dhe Jamat hanya diam.
“Oalaaah Sarmu, Sarmu…tanya saja sama Godril,” jawab dhe Jamat sambil mengaduk kopi pesanan Godril.
Sarmu melirik Godril yang baru datang dan duduk di sebelahnya, yang di lirik hanya senyum-senyum sendiri. Sarmu merasa heran, memang sejak kapan Godril jadi kader partai?
Belum habis rasa herannya, Godril mengeluarkan sehelai kaos, kaos tipis seperti saringan tahu bergambar simbul Partai Gancu dengan slogannya “Bersama Partai Gancu Petani Maju”. Kemudian mulutnya dengan fasih menjelaskan program-program partainya. Sarmu hanya bisa terpukau dengan berondongan kalimat-kalimat asing yang keluar dari mulut Godril bersamaan dengan asap rokok yang tak henti-henti menghembus dari mulutnya.
“Dhe Jamat, biar kopi Sarmu saya yang membayarnya.” Godril berlalu sambil melemparkan sebungkus rokok, rokok tanpa cukai bergambar Partai Gancul.
Belum habis ketidakmengertian Sarmu pada Godril yang sehari-harinya tukang mencari rumput tiba-tiba sekarang berkampanye untuk partai Gancu.
Eh, datang lagi Min Culeng, si tukang kredit semua barang keperluan rumah tangga. Persis seperti Godril, Min Culeng sekarang juga menjadi petugas partai bersimbol spidol. Dengan slogannya “Enyahkan orang tolol bersama partai Spidol”.
Mengenakan baju lengan panjang biru muda dan Spidol yang terselip di sakunya si Min Culeng dengan rayuan mautnya menawarkan program-program partainya. Bermodal pengalamannya merayu orang untuk mau membeli dagangannya, Min Culeng amat lihai memasarkan program partai Spidolnya.
Begitu lihainya hingga terkesan seperti kader partai yang telah digembleng bertahun-tahun lamanya.
****
Tidak berapa lama kemudian warung kopi Dhe Jamat silih berganti didatangi juru kampanye jadi-jadian dari macam-macam partai yang semuanya mempromosikan diri sebagai partai yang terbaik, paling membela rakyat dan berdiri di garis terdepan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Ada partai Kepala Batu yang menawarkan Indonesia Maju, ada partai Roda yang memromosikan cara menjadi rakyat yang bahagia. Semua yang pulang dari warung itu dompetnya terisi uang, dan bukan lagi recehan.
Sakunya berisi macam-macam rokok dengan merk berbeda sesuai pemberian tim kampanyenya.
Dan perutnya kekenyangan karena semua memberikan kesanggupan palsu memilih partai-partai yang baru saja di kampanyekan oleh kader-kader partai gadungan. Hari itu desa dibanjiri uang, program dan poster. Kenyataan sebaliknya di kepala warga justru dipenuhi semakin ketidak mengertian pada apa saja yang baru didengarkan.
Ketika uang untuk membeli suara habis, cerocosan kampanye sudah tak lagi diperhatikan karena tim kampanye sudah tidak memberikan traktiran maka tinggal poster-poster yang berperang. Menjadi mesin perang partai yang paling setia menawarkan program-program partai agar tak hilang dari benak dan pikiran. Dan wargapun secara tidak sengaja dipaksa untuk merekam gambar dan tanda partai dalam ingatan.
Awalnya poster-poster itu hanya menyampaikan visi partainya tetapi lama kelamaan muncul agresivitas baru untuk menampilkan diri lebih baik dari partai lain. Bukan hanya bersaing menampilkan poster yang lebih kreatif tetapi lama kelamaan juga menyerang dan menampilkan kelemahan partai lain. Maka terjadilah perang poster, perang sekadar perang kata-kata.
Misalnya partai Pacul menyerang partai Spidol dengan kata “Hanya dengan perut kenyang orang akan pintar”.
Partai Spidol yang merasa didegradasi identitasnya balas menyerang dengan dengan membuat poster bertuliskan “Masa depan bangsa ditentukan kepintaran bukan perut yang kenyang.”
Serang menyerang ini terus berlanjut sehingga jumlah posterpun melebihi ketentuan yang diijinkan. Tetapi tak ada satupun kader partai yang protes karena pelanggaran partai lain menjadi kesempatan untuk membuat pelanggaran juga. Kepatuhan itu hanya untuk orang lain bukan untuk dipatuhi kelompoknya sendiri jika peluang ketidak patuhan itu terbuka.
Awalnya poster-poster itu terpasang dan dibiarkan begitu saja. Tetapi ketika poster partai Kepala Batu hilang dari tempat paling strategis di perempatan jalan desa, desas-desus pun mulai berhembus. Muncul teka-teki siapa yang mencopot poster partai Batu dari tempatnya.
Karjan sebagai pimpinan Partai Kepala Batu mencurigai ulah usil itu diperintahkan Min Culeng dari Partai Spidol.
“Min Culeng masih dendam karena istriku masih punya tunggakan kreditan baju lebaran setahun yang lalu padanya,’’ gerutu Karjan di hadapan pengikut partai Kepala Batu lainnya.
Dan desas-desus itupun kencang berhembus hingga ke telinga Min Culeng.
“Hoak, itu rekayasa Karjan sendiri. Masih ingtlkan kalian ketika Karjan menyuruh temannya membobol rumahnya dan mencuri motornya agar ia terbebas dari membayar angsuran motor ?” sanggah Min Culeng tak kalah sengitnya di warung kopi dhe Jamat.
Tetapi tuduhan pada Min Culeng bertambah kencang karena poster partai Pacul di pintu masuk desa juga hilang.
Secara terang-terangan Godril yang diprovokasi Karjan menuduh Min Culeng dan orang-orangya dari partai Spidol yang sengaja memancing keonaran itu.
“Min Culeng, sebagai sesama kader partai, kamu tak seharusnya menggunakan cara kotor ini. Tunjukkan kerja nyata partai di tengah warga agar mereka percaya. Bukan dengan mengganggu poster partai kami !”
Sarmu yang kebetulan ada diantara pertengkaran itu hanya melongo saja. Bukan pada hilangnya poster-poster partai tetapi pada kata-kata fantastis kader partai dan kerja nyata partai di tengah warga.
*****
Sejak kapan Min Culeng menjadi kader partai ? Apakah kata kader itu cocok ? Bukankah kader hanya cocok disematkan pada mereka yang konsisten dan mati-matian membela dan membesarkan partai? Siapa yang telah dibela Godril dan partainya ?
Belum lagi dengan kata-kata kerja nyata partai di tengah warga. Memangnya kerja nyata apa yang telah dilakukan partai-partai itu ? Membagi uang dan kaos , mentraktir orang di warung, membelikan rokok ? Apa itu kerja nyatanya ?
Apa juga memasang poster di sembarang tempat dan menggganggu keindahan desa, menempeli pohon-pohon dengan foto tokoh partaiyang tak satupun dikenal warga atau menempelkan pamflet di pintu rumah pada malam hari tanpa ijin pemilik rumah itu merupakan kerja nyata dari kader partai ?
Perdebatan tentang hilangnya poster-poster itu semakin tidak dipahami Sarmu. Apalagi bagaimana cara Godril dan Min Culeng saling menyangkal dan menjatuhkan sangat mengerikan. Seakan-akan perkara itu begitu besar sehingga hubungan ketetanggaan keduanya sama sekali tak ada artinya.
“Dhe Jamat, ini kopi Kang Godril dan Mas Min Culeng biar saya bayarnya,” kata Sarmu sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.
“Tolong bungkuskan kopi satu dan lima pisang goreng sekalian.”
Setelah menerima uang kembalian dan bungkusan pisang goreng dan kopi Sarmu beranjak pergi ke kebunnya yang ada di ujung desa. Meninggalkan kerumunan orang yang turut terlibat dalam debat sengit antara Godril dan Min Culeng.
*****
Debat yang pangkal dan ujung masalahnya bagi Sarmu tidak penting. Poster-poster itu bagi Sarmu memang tak terlalu berharga.
Meskipun terpasang berhari-hari di desanya tak satupun yang pernah benar-benar ia baca, kecuali sepintas lalu saja. Dan warga desa yang lain rasanya begitu juga.
Ada dan tidaknya poster itu bukan suatu hal yang penting dan tidak layak untuk diributkan demikian sengitnya. Anehnya, itu demikian penting bagi mereka yang menyebut dirinya sebagai kader-kader partai seperti Min Culeng, Godril dan Karjan.
Sarmu menghentikan sepedanya dan m,ampir ke sebuah rumah yang tak jauh dari sawahnya. Sebuah rumah dari bambu yang reot termakan usia berdiri bersebelahan dengan kebunnya. Rumah yang berjauhan dengan warga lain. Rumah yang dikelilingi kebun milik warga desa dan di belakang rumahnya dilewati aliran sungai. Rumah seorang lelaki tua bernama Lik Kempil. Kesehariannya mencari makan dengan memelihara bebek dan mentok di belakang rumah.
Lantai rumahnya masih berupa tanah serta dinding dari anyaman bambu yang berlubang di sana-sini. Beberapa bagian atap juga terlihat bocor dan belum diganti gentingnya. Di bawah genting bocor itu dipasang ember plastik agar lantai tanahnya yang sudah basah tidak berubah menjadi becek.
“Bebeknya sudah mulai besar ,Lik ?” sapa Sarmu pada Kempil.
“Iya, kemarin hilang dua karena pagarnya berlubang,” kata Kempil sambal melinting rokok tembakaunya.
“Sudah dibetulkan, Lik ?” tanya sarmu lagi.
“Sudah, lihat sendiri di belakang sana !”
Sarmu bergegas ke belakang rumah. Suara bebek berisik seperti sedang berebut makanan. Bebek yang sudah besar dipisahkan dengan bebek yang masih kecil.
Sarmu tertegun melihat pagar pembatas bebek-bebek yang sudah besar itu. Bukankah itu…ya, bukankah itu poster partai Kepala Batu dan partai Gancu yang hilang ? Jadi ???
“Daripada nanti rusak dimakan hujan dan angin.” Lik Kempil sudah berdiri di sebelah Sarmu yang masih tertegun.
Sarmu tak bisa berkata apa-apa. Di desa orang-orang sedang meributkan hilangnya poster-poster, meskipun bagi warga desa poster-poster itu hanya diperhatikan sekali dua kali saja.
Tetapi di rumah Lik Kempil poster itu pagar pengaman kandang bebeknya. Setiap harinya, setiap jamnya setiap detiknya untuk menjaga agar bebek-bebeknya tidak kabur.
Di desa, poster menjadi alat perang untuk menjatuhkan partai yang berbeda tetapi di rumah Lik Kempil poster dapat digunakan untuk mendamaikan kenyataan bahwa itulah cara termurah dan termudah untuk mengatasi kaburnya bebek-bebek yang mulai besar itu.
“Sepertinya saya masih butuh tiga atau empat lagi, sekalian untuk menutup dinding rumah. Kamu bantu mengambilkan poster-poster itu ya ? Agak susah kalau mengambil yang tinggi.”
Sekarang perang itu berpindah ke batin Sarmu. Antara membantu Lik Kempil yang benar-benar membutuhkan pertolongan dengan perasaan sungkan pada partai-partai yang telah memberinya uang. Partai-partai semakin berang karena hari-hari berikutnya semakin banyak jumlah poster yang hilang. Bersamaan dengan bebek Lik Kempil yang semakin besar.
Blora, 2019
Penulis : Tri Martana