Juang Merdeka, Jateng – Rembang, 8 November 1945. Rombongan Kyai Abbas dari Cirebon telah tiba. Kyai Bisri dan para santri akan membersamainya ke Surabaya. Membebaskan Surabaya dari cengkeraman pasukan Sekutu. Ribuan santri telah menunggu. Mereka hanya akan bergerak jika Kyai Abbas telah sampai di Surabaya.
Tiga santri muda yang belum genap berumur dua puluh tahun, Mukmin, Zaini dan Kurdi seksama menyimak perbincangan mereka. Merangkaikannya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya di Surabaya. Peristiwa tewasnya Brigjen Mallaby komandan Brigade 49 digranat di dalam mobil Buichnya. Jendral kantoran yang biasanya hanya mengurus tetek bengek administrasi. Karena jumawa, ia berlagak mampu memimpin pasukan yang pernah menaklukkan Jepang di Birma. Dikiranya Surabaya akan jatuh dengan sekali tepuk saja.
Pejuang berhasil mengepung semua posisi pasukan Sekutu. Jika pertempuran meletus, Sekutu akan sulit meraih kemenangan. Agar tidak menaggung malu didatangkanlah Presiden Soekarno tanggal 30 Oktober untuk meredakan ketegangan. Berhasil. Tetapi Sekutu memang berniat mengingkari. Tanggal 3 November, mendaratlah 24.000 tentara dari The British Indian Division. Sebuah divisi yang berisi gabungan tentara Sekutu dari anak benua India. Resimen legendaris Gorkha dengan pisau kukri yang menjadi simbul keganasannya ikut serta. Pasukan darat ini didukung dengan puluhan tank Sherman.
Juga telah dikirim satu skuadron Royal Air Force dengan kekuatan 20 pesawat pembom Mosquito dan 12 pesawat pemburu Thunderbolt. Skuadron ini sangat berpengalaman menghadapi Angkatan Udara Jerman di medan tempur Eropa. Bahkan ikut membantu menaklukkan Jepang di Indochina. Dengan kekuatan sebesar itu, diperkirakan Surabaya akan jatuh tidak lebih dari lima hari.
***
Diantara bertiga, Kurdi yang paling senior. Mereka bertiga mendapat jatah satu senapan laras panjang. Hasil rampasan milik tentara Jepang di Semarang. Sebuah senapan Arisaka tipe 99. Senapan berpopor kayu yang beratnya sekitar empat kiloan. Perjanjiannya jika Kurdi mati dalam pertempuran maka Zaini yang menggantikannya. Jika Zaini mati juga, Mukmin yang menggantikannya.
“Niatan kita berperang adalah untuk mewujudkan kasih sayang,” Kurdi membuka pembicaraan. Mukmin dan Zaini serius menyimak.
“Perang kok pakai istilah sayang-sayangan. Perang ya dar…der…dor. Kalau sayang-sayangan itu lebih cocok untuk yang mau nikahan,” Mukmin menimpali sekenanya. Sambil melirik Zaini yang sebulan lagi menikah. Lima hari yang lalu orang tuanya sudah meminangkan seorang gadis untuknya. Anak Modin dari desa tetangga.
Zaini hanya tersenyum. Ia sudah membicarakan rencana ikut perang ke Surabaya dengan orang tua dan calon mertuanya. Berangkatlah ke Surabaya, niatkan untuk menghancurkan dinding penghalang turunnya kasih sayang Allah atas kota Surabaya. Jika kebetulan dinding itu adalah pasukan Sekutu maka jangan orangnya yang kamu benci. Tetapi belenggu penjajahan yang ingin mereka ikatkan pada leher bangsa yang telah merdeka inilah yang harus kamu musuhi. Itu pesan ayahnya.
Calon mertua membekalinya sebuah tongkat bambu kuning sepanjang satu depa. Bukan sebagai pusaka tetapi hanya sebagai simbul bahwa diantara keras ruas-ruasnya terdapat ruang kosong yang justru membuatnya makin kokoh. Ruang kosong itulah simbul niat yang tulus.
“Anggap perang yang akan kau jalani dan apa saja yang bisa kau korbankan sebagai mahar untuk pernikahan dengan anakku. Berangklah dengan gembira,” itu pesan calon mertuanya dua hari yang lalu.
Segera setelah rombongan Kyai Abbas dan Kyai Bisri berangkat ke Surabaya, truk yang membawa Mukmin, Zaini dan Kurdi segera menyusul. Meskipun berbekal senjata seadanya tetapi tak terbersit sedikitpun ketakutan pada wajah mereka. Selama perjalanan yang ada hanya cengkerama. Tak ada strategi perang yang dibicarakan. Berangkat perang layaknya berangkat pengajian ke luar kota saja.
“Saatnya menukar nalar waras keduniawian kita dengan surga yang dijanjikan-NYA,” ujar seorang santri di sebelah kanan Zaini. Kurdi dan Mukmin yang berdesakan di sebelah kanan Zaini ikut menoleh.
“Jika kau mati dalam perang ini, bagian surga mana yang ingin kau huni ?” santri itu menyikut pinggang Zaini. Sementara Zaini masih bingung dengan kata-kata menukar nalar waras keduniawian dengan surga-NYA.
“Di surga nanti, Aku ingin berada di padang hijau yang luas. Dengan telaga jernih di tengahnya sehingga aku bisa berpuas-puas memancing setelah menggembala,” jawab Zaini sekenanya.
“Mana ada kerja menggembala di surga…susah amat!” Mukmin ganti menyikut pinggang Zaini.
“Di surga itu kita ditemani para bidadari…bukannya para kambing, mbeek…mbeek,” Mukmin menambahi. Maka berderailah tawa mereka. Di tepi Kali Mas, truk berhenti. Di tempat itu mereka ditugaskan menghadang laju pasukan Sekutu.
***
Tanggal 9 November 1945 ketegangan mencapai puncaknya. Komandan Sekutu, E.C Mansergh mengultimatum agar semua pejuang menyerahkan senjata. Ultimatum yang dirasa menginjak-injak kepala, para pejuang menjawabnya dengan tantangan perang. Tebusan nyawa bukan sesuatu yang mahal untuk mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan yang ditegaskan sebagai rahmat Allah, yang telah berabad-abad dirindukan.
10 November di pagi buta. Ribuan pejuang bergerak ke posisinya masing-masing. Kurdi, Mukmin dan Zaini telah berada di sekitar Kali Mas. Kurdi bersiap dengan senapan Arisaka tipe 99 nya. Dari Radio Barisan Pemberontak RI , suara Bung Tomo membakar gelora juang yang telah sampai puncaknya. Mengikatkan hati untuk menapaki jalan, merdeka atau mati. Sesaat kemudian pesawat-pesawat Sekutu mulai menyerang obyek-obyek vital pemerintah. Dentuman bom menggelegar disusul rentetan tembakan dari kedua pihak. Surabaya hujan peluru.
Kyai Abbas terlihat sigap mengatur perlawanan. Kekuatan batinnya yang luar biasa menular ke santri dan pejuang di sekitarnya. Semangat kuat menjadikan tenaga bertambah berlipat-lipat. Dua pesawat Mosquito jatuh diterjang berondongan senapan Spoiler peninggalan tentara Jepang. Harapan Sekutu untuk menaklukkan Surabaya secepatnya menjadi pepesan kosong belaka.
Tanggal 11 November, Brigjen Loder Symond tewas. Sebuah pukulan keras bagi Sekutu. Selama Perang Dunia II menghadapi Italia, Jepang dan Jerman sekalipun belum pernah dalam waktu kurang dari seminggu Sekutu kehilangan dua panglima perangnya. Rasa malu menampar keras pusat komando Sekutu di London. Surabaya berubah menjadi inferno bagi Sekutu, neraka yang tak dapat dijangkau kedalamannya.
Kurdi, Mukmin dan Zaini tetap bertahan di posnya. Dua hari yang dipenuhi ledakan dan kematian. Di ujung jalan, tiga tank Sherman menyalak menghantam posisi para santri yang mati-matian mempertahankannya. Satu mati, sepuluh lainnya siap mengambil alih posisi. Tumpukan jenasah setinggi tumpukan karung pasir pertahanan diri.
Dentuman meriam dari tank berhenti. Disusul teriakan keras yang membuat bulu kuduk merinding, “Gorkhaaliii…!!!” Muncullah pasukan Gurkha dengan pisau kukri terhunus. Berondongan peluru tak mereka hiraukan. Mengincar posisi para pejuang yang memegang senapan. Dan tiba-tiba tiga orang dari mereka sudah mengepung Kurdi. Merebut senapan dan mengantarkan Kurdi melewati pintu kematian.
Mukmin yang ada di dekatnya dalam bahaya. Dikakinya telah tertancap pisau kukri. Satu Gurkha yang berhasil merebut senapan mengarahkan moncong padanya. Mukmin tak mungkin menghindar. Ada kesempatan Zaini menyelamatkan diri. Tetapi justru ia melompat dan mengayunkan tongkat bambu kuningnya ke punggung si Gurkha yang terlambat menyadari sergapannya. Si Gurkha itupun tumbang terkulai seperti benang.
Zaini segera merangkul Mukmin dan berusaha meninggalkan posisi. Dua Gurkha lain menghadang. Satu dengan pisau kukri terhunus, satu dengan senapan milik Kurdi. Tongkat bambu kuning Zaini memakan korban lagi. Kaki si Gurkha yang membawa pisau kukri patah digebugnya. Si Gurkha pembawa senapan mendapat peluang, menghantam kepala Zaini dengan popor senapan.
Zaini tak sempat mengindar. Tubuhnya limbung. Tangannya memegangi kepala, menahan sakit yang luar biasa. Tetapi tak ada erangan kesakitan di mulutnya. Beruntung serombongan santri dari Madura datang. Diiringi takbir, tebasan celurit tak henti diayunkan. Satu persatu para Gurkha jatuh bergelimpangan, dilemparkan ke Kali Mas seperti boneka mainan. Puluhan Gurkha lain lari ketakutan. Seperti melihat malaikat kematian. Jika di medan tempur lain mereka menjadi momok mengerikan, di Surabaya mereka lari lintang pukang, memalukan.
Mukmin menyandarkan Zaini di belakang pagar sebuah bangunan. Zaini masih tersadar. Tetapi tatapan matanya kosong belaka. Mukmin berusaha mengajaknya bicara, tetapi sia-sia.
“ Padang yang hijau. Telaga yang jernih. Aku ingin memancing di sana,” berulang-ulang hanya kata itu yang ia ucapkan. Air mata Mukmin tumpah. Dipeluknya Zaini dengan erat. Luka di kakinya tak dihiraukan. Sesekali Zaini sadar, sesekali mengigau lagi. Terus seperti itu. Seperti berada di dua dunia yang berbeda.
“Kau lebih beruntung, nalar waras keduniawianmu telah ditukar dengan surga yang kau impikan.” Sejak itu Mukmin membawa Zaini ke kediamannya. Merawat dan menjaga sahabatnya sampai tua.
***
Penulis : T. Sumarta