Peti Mati Mutasi

Advertisement

Juang Merdeka Jateng –  Mutasi jabatan itu begitu mengobsesinya. Pikiran, perasaan dan seluruh urat nadinya dikerahkan untuk mengejar, mendapatkan,  dan mempertahankannya. Semata-mata menahtakan ambisinya. Tak ada hati nurani, tak ada rasa malu, tak ada persahabatan jika itu menjadi perintang jalan menuju kekuasaan yang dikejarnya.

“Antarkan aku ke tempat itu segera, secepatnya !” mata Yonan berkilat merah.

“Tapi Pak, bukankah sebentar lagi Bapak harus memimpin rapat ?” Kadi si sopir berusaha mengingatkan Yonan.

“Perintahkan Huda untuk memimpin rapat!” Yonan rupanya sudah tidak peduli lagi. Baginya kantor  yang dipimpinnya terasa sudah menjadi seperti cangkang telur yang sudah tidak berisi. Kosong, hampa dan yang paling penting anggarannya sangat minim. Kantor yang sama sekali tidak basah. Tak cukup mampu membiayai gaya hidup dan ambisinya.

Apalagi semenjak sekretarisnya, Fara dipindah tugas ke kantor dinas lain yang lebih besar. Maka di kantor dinas yang dipimpinnya sekarang tak ada lagi daya tariknya sama sekali. Keputusannya bulat, ia harus pindah menjadi kepala dinas di kantor lain yang lebih basah. Tekadnya mengeras seperti batu dan membara seperti api.

Musim pilkada yang setaunan lagi datang membuat kesempatan itu terbuka lebar. Tiga hal yang harus ia siapkan, dukungan politik pada calon yang tepat, pembiayaan kampanye dan…jalan spiritual. Yonan sudah menyiapkan dana sekitar tiga ratus juta untuk membeli kursi kepala dinas yang diincarnya. Ia memutuskan tidak mendukung calon incumbent yang dulu didukungnya. Ia kecewa karena setelah dukungan itu, jabatan-jabatan yang diincarnya tidak ada yang berhasil didapatkannya.

Malahan Wijo yang perannya dalam memberikan dukungan tidak seberapa mendapatkan jabatan itu. Ia kenal betul siapa Wijo itu. Dia terkenal licin lidahnya, bermuka tembok dan selalu mencari muka. Ternyata diantara para pendukung sendiri terjadi saling sikut, saling telikung dan menjatuhkan. Dan ia tersingkir cuma oleh seorang Wijo yang hanya bermodal bermuka dua dan lidahnya yang menjilat kemana-mana. Ia merasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian kue jabatan. Maka ia putuskan di pilkada sekarang mendukung non incumbent.

Anak-anak dan isterinya sebenarnya sudah mengingatkan bahwa arah dukungan Yonan dalam pilkada terlalu spekulatif dan emosiaonal. Dengan masa kampanye yang singkat dan alat peraga kampanye  yang  jumlahnya ditetapkan dan disediakan KPU menjadikan calon non incumbent akan mengalami kesulitan dalam mengampanyekan diri dan program. Apalagi figur non incumbent yang sekarang tidak  mempunyai daya beda yang diametral dengan incumbent, pasti akan lebih sulit memengaruhi pilihan masyarakat. Tetapi semua pertimbangan rasional tersebut tidak mampu memengaruhi Yonan.

“Kamu sudah tahu jalan ke lokasi itu, kan?”  tanya Yonan sambil menutup pintu mobil.

“Tentu saja tahu, Pak. Pak Pendi, Pak Yoga, Pak Truno dan terakhir Pak Kiswoyo sebelum pindah dari kantor ini juga menyepi ke tempat itu.” Kadi mulai menjalankan mobil meninggalkan kantor. Menembus keramaian dan kemacetan kota. Melewati jalan perkampungan, persawahan dan bukit yang berkelok-kelok dengan jalan yang berlubang di sana-sini. Terakhir memasuki jalan yang membelah  hutan  lebat. Aneh, meskipun sangat jauh dari kota, jalan yang membelah hutan itu sangat halus. Konon  pejabat-pejabat yang berhasil mendapatkan kursi jabatan yang mereka incar itulah yang menitipkan proyek perbaikanjalan di tengah hutan ini.

Mobil berhenti di sebuah tempat parkir yang tidak terlalu luas. Tiba-tiba raut wajah memerah dan tulang dagunya mengeras. Matanya nanar melihat mobil yang telah parkir terlebih dahulu di depannya.

“Itu…itu mobi Wijo, kan ? Mau cari jabatan apalagi si brengsek itu ! Kadi, pindah saja parkirnya ke tempat itu!”

Mobil berpindah di samping warung kecil yang masih belum buka. Dari sana Yonan menunggu. Ia tidak mungkin menyepi di tempat yang sama dengan Wijo. Setelah beberapa saat Wijo muncul. Api kemarahan jelas sekali terbaca di wajah Yonan. Tidak cukup sampai disitu, apa yang dilihat Yonan jauh lebih membuatnya terguncang. Di belakang Wijo, seorang perempuan berkerudung selendang berwarna abu-abu berkacamata hitam. Ia kenal betul perempuan itu.

“Kadi, Dia…Dia Fara kan. Betul kan dia Fara ?”

Kadi mengamati perempuan itu dengan cermat. Selendang abu-abu dan kaca mata hitam itu memang sedikit membuat wajah asli perempuan itu agak kurang jelas.

“Mmm…iya, betul Pak. Itu memang Fara. Bukankah tas warna merah  itu dulu Bapak yang membelikan ?”

“Bagaimana kalau saya ambil gambarnya, Pak ?”

Kemarahan Yonan sudah tidak tertahan. “ Terserah kamu Kadi, yang jelas si Muka tembok  itu harus kuberi pelajaran !”

Yonan membuka pintu mobil dengan maksud menghampiri Wijo. Belum sempat kakinya menginjak tanah, jantungnya terasa berhenti. Di belakang Fara muncul orang lain yang langsung menggandeng tangan Fara dengan mesra.

“Itu…itu… .” Tak ada lagi yang dapat dikatakan Yonan. Tubuhnya langsung lunglai ketika bumi dan langit dirasakannya berputar-putar dan menjadi gelap. Beruntung Kadi masih sempat meraihnya dan menyandarkan tubuhnya di jok. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Yonan. Ternyata orang yang menggandeng Fara adalah Pak Romi, calon non incumbent yang didukungnya.

Setelah sadar, Yonan terdiam. Dadanya bergemuruh. Wijo seperti selalu berjalan di depan dan menghalang-halanginya. Dia sudah merebut jabatan yang diincarnya, merebut Fara dan sekarang malah bergabung dengan calon kepala daerah yang akan didukungnya. Rupanya Fara dijadikan umpan juga.

“Benar-benar lancung si muka tembok itu !”

“Mmm…apakah Bapak masih tetap berniat menyepi di tempat itu?”

“Iya…tetapi aku tidak sudi lagi mendukung Romi. Keberadaan Wijo dalam tim suksesnya membuatku muak.

****

Mereka kemudian menyusuri jalan yang sedikit menanjak. Di bawah pohon besar terdapat sebuah batu datar yang di sangga empat batu lainnya. Menyerupai sebuah peti. Diatas batu itu orang-orang yang menyepi meletakkan sesajen. Orang-orang menyebut tempat itu dengan nama Kopag. Yonan mengamati susunan batu itu.

“Sepertinya ini peti mati dari batu,” gumam Yonan dalam hati.

Peti batu itu memang sebuah peti mati. Para ahli sejarah menyebutnya sebagai Sarkophagus. Dan orang-orang disekitar tempat tersebut menyebutnya dengan ringkas menjadi Kopag. Jadi Kopag sebenarnya adalah tempat memakamkan orang-orang kuat pada jaman purba. Mereka yang tergolong primus interpares atau para pendiri dan pemuka sebuah komunitas purba mendapat penghormatan dimakamkan di Sarkofagus, layaknya Fir’aun yang dimakamkan juga dalam peti batu raksasa bernama piramida.

Dalam peti batu itulah mereka yang berkuasa berharap selalu membawa kekuasaan itu dalam keabadian.Naluri berkuasa membuatnya hanya mampu memikirkan diri sendiri. Orang lain hanyalah obyek. Menjadi  siapa yang akan diinjaknya, siapa yang akan jadi jongosnya, siapa yang akan jadi gedibalnya. Seperti itulah racun kekuasaan dan jabatan.

Maka berapa banyak raja yang  bahkan sampai matinya nanti pun memilih bersunyi-sunyi bersama ambisinya. Mereka tak ingin langit menyaksikan takdir kematiannya. Mereka tak ingin segala mahluk melata ditanah yang menjijikkan mengurai satu demi satu bagian tubuhnya., mencerai beraikan simbul-simbul kekuasaanya. Mereka tak ingin bumi menyucikan dan memisahkan sel-sel tubuhnya agar kembali pada marwah asalinya yang berasal dari tanah.

Mereka tak ingin menjadi tanah, karena tanah hanya simbul kehinaan karena semua orang berhak menginjaknya. Mereka lebih memilih mati membusuk dalam sarkhopagus, peti batu yang tebal  dan kedap. Berharap langit dan bumi tak mampu merenggut kekuasaan yang telah mendarah daging, menulang sumsum dalam hati, pikiran dan jiwanya. Dalam Kopag, sebuah sarkhopagus itu pulalah ambisi Yonan dinyalakan.

“PaK, konon jika keinginan seseorang sangat kuat, ia tidak cukup bersemedi di sekitar batu itu. Ia harus menyepi di dalam kubur batu itu.”

“Kadi, bantu aku mengangkat batu ini !” kata Yonan dengan tanpa pikir panjang.

Pikirannya terlampau dipenuhi kata mutasi, dan telah menegeras dalam hatinya bahkan telah lama mkembartu didalam kepalanya.

Dalam Kopag yang kedap dan pengap itu  Yonan menyalakan ambisinya. Mulailah mata, lidah, ekspresi wajah menjadi ujung kebusukan hati dan keculasan pikiran tempat bersarangnya tumpukan dendam. Ia siap menelikung dan menghianati siapapun. Insting  oportunis dan kemunafikan dipertajam  sehingga lebih tajam mengendus siapa saja akan ditusuk dan siapa saja akan dirangkul agar ia dapat berayun pada pendulum kekuasaan.

*****

Yonan turun dari mobil. Langkahnya mantap menuju kantor  yang sangat ia idamkan untuk dikuasainya. Tanpa protokoler ia langsung menuju ruangan Kepala Dinas. Fara dan Wijo yang berada dalam ruangan itu terkejut. Dilemparkan beberapa lembar foto ke atas meja. Foto Wijo, Ratih dan yang paling berbahaya, ada Romi di dalam foto itu. Dari balik kaca mata hitamnya Yonan menjadi lebih jelas melihat bahwa nasib Wijo telah dijerembabkannya dalam naungan cakrawala yang gelap.

Tanpa kata-kata Yonan beranjak meninggalkan ruangan yang sebentar lagi akan dikuasainya. Pintu ruangan itu belum sempat tertutup ketika Wijo menerima sebuah panggilan dari HP, tak digubrisnya. Ada wajah yanga dengan cepat memucat karena akan segera kehilangan jabatan.

Pada saat yang sama Fara juga sedang menerima WA, “Dik Fara,  akn ttp jd skrtis di sini.”

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close