Juang Merdeka Jateng – Aku hampir tak mengenali perempuan yang duduk di depanku di hari Minggu ini. Dengan gincu tebalnya kusangsikan dia adalah…Melati? Jika orang lain yang bergincu, selenting ragu ini tidak akan berdenting. Tapi ini Melati, si lugu dan pendiam yang tiga tahun menjadi teman akrab kuliahku. Tumpukan kenangan mulai melonggar, cerita lama mulai tertata.
Gincu tebalnya melahirkan tanda tanya, ada apa dengannya ? Dan melentingkan ragu, apakah ini Melati yang dulu ?. Juga mulai mengecambah rasa sangsi, apakah ini Melati ?
Melati. Kukenal dia mahasiswa dengan penampilan lugu, mungkin terlugu dari yang paling lugu di seluiruh dunia. Tiga tahun akrab dengannya, tak pernah sekalipun dia tanpa bedak dan tanpa gincu. Sekalipun seperti itu dia surplus rasa percaya diri yang tinggi. Saat debat, diskusi dan presentasi kecemerlangan pikiran dan kerapian argumentasinya menyempurnakan pesona kebersahajaan penampilannya.
Melati. Apa adanya, tanpa sikap canggung dan menutup diri. Apa yang membuatnya sampai harus bergincu? Atau benarkah ia Melati ?
Benarkah gincu tebal itu mulai mengelabui pengenalanku?
Andai kata bergincupun ia tetap cantik. Dan bisa jadi tak ada yang berubah dengan kepribadiannya, tetap percaya diri dan tidak canggung. Bahkan gincu itu mungkin sebentuk keberanian diri untuk tampil diluar kondisi aslinya. Semacam topeng tipis untuk menyatakan diri bahwa ia pun berani tampil beda tanpa kehilangan jati diri. Gincu bukanlah sebagai pembeda.
Ya…akupun setuju, bahwa gincu bukanlah sebagai pembeda. Ia melekat dengan sendirinya entah sebagai kebutuhan maupun pelengkap saja. Yah, sesekali dalam kadar agak sarkastik langsung berasosiasi. Gincu tebal identik dengan perempuan-perempuan nakal yang kena razia di pinggir jalan yang disiarkan di televisi.
Jelaslah yang salah memang asosiasiku yang memberi label gincu sebagai simbul senaif itu. Bisa jadi aku terlalu terobsesi bahwa perempuan lebih cantik jika tampil apa adanya. Kesederhanaan justru menjadi penguat kecantikannya. Maka gincu, menjadi suatu yang ekstrim dan di sebuah kutub yang sebegitu berjarak bahkan berseberangan dengan kesederhanaan.
Mungkin itu pandangan yang berlebihan. Untuk telampau memepertentangkan antara gincu dengan kesederhanaan. Bagaimana dengan Melati yang di depanku ini ?
Apa yang mengubahnya hingga ia bergincu setebal itu ? Kemana kepercayadiriannya ? Hilangkah ketidakcanggungannya sehingga ia harus berlindung di balik gincu tebalnya? Apa yang berubah darinya hingga memoleskan gincu setebal itu ? Atau jangan-jangan dia bukan Melati? Atau dia Melati yang sama, tetapi menjadi Melati bergincu ?
*****
Melati memesankan dua mangkuk bakso, menyusul kemudian dua es teh. Seperti itulah selalu adegan yang terjadi selama tiga tahun yang lalu ketika kami masih menjalin pertemanan. Dan ruangan kios bakso di depan kampus inipun tidak banyak berubah, berdinding kayu tanpa cat, benar-benar alami. Maka itu menajdi pelengkap yang sempurna bagiku, berada di tempat sederhana, bersama teman yang sederhana. Bertahun-tahun jalani pertemanan di bangku kuliahan tanpa muncul perasaan bosan. Sesederhana itu.
“Bagaimana kabar istri, Mas Kamal?”
Tak ada nada canggung, tak ada bibir yang bergetar menyembunyikan waktu tiga tahun tanpa perjumpaan. Pada matanya masih tetap berbinar-binar percaya diri. Tetapi dengan gincu tebal berwarna merah hati.
“Amel baik-baik saja,” jawabku singkat.
Melati mulai mencicip kuah bakso dan kemudian menambah sedikit garam dan jeruk nipis agar sesuai seleranya. Seperti itu juga dulu jika kami makan bakso bersama. Adegan berikutnya ia menambahkan sedikit kecap manis ke mangkuk baksoku. Tetapi sekarang dia melihat reaksiku dulu, aku mengangguk. Membirkannya mengulang semua nostalgia yang pernah ada.
Semua adegan berikutnya pengulangan semata. Semuanya. Melati mengurangi potongan es batuku dipindahkan ke gelas es tehnya. Karena aku tidak terlalu suka rasa dingin yang berlebihan. Kemudian dia memindahkan dua tiga potong gajih ke dalam mangkuk baksoku. Menanmbahkan sedikit sambal dan tak lupa meminta tambahan sejumput kol untukku. Terakhir mengambil tiga bungkus kerupuk rambak , satu untuknya, satu untukku dan satu lagi untuk dinikmati bersama. Persis seperti yang dulu, sesederhana itu.
Aku juga berusaha untuk membawa diri apa adanya, tidak berubah sama sekali. Ketika bakso habis, kuahnya masih kusisakan. Setelah menambahkan sedikit saos sambal kamipun mencelupkan bergantian sebungkus kerupuk rambak ke dalam kuah yang telah menjadi lebih pedas itu. Ketika kerupuk tinggal satu, Melati juga membiarkannya untukku. Hmm…dia masih Melati yang dulu, hanya gincu tebalnya itu yang mengusik hati. Peristiwa apa yang mengubahnya sehingga sekarang ia sampai bergincu ? Masih saja deretan tanya muncul dalam benakku.
****
Pertemanan kami memang berakhir tanpa ujung yang jelas, minimal tanpa lambaian tangan perpisahan seperti film-film roman picisan. Dulu ketika sama-sama mulai mengejakan skripsi, kita mulai jarang bertemu.
Memang Melati pernah mengatakan ingin pulang membantu keluarganya menyekolahkan adik-adiknya. Akupun sama, setelah kuliah juga pulang membantu ayah menyelesaikan sekolah dan kuliah adik-adikku. Lambat laun pertemanan ini makin renggang. Aku berusaha menghubunginya tapi no hp nya tiba-tiba tidak dapat kuhubungi lagi. Kisah yang berakhir tanpa cerita.
Yang kupahami waktu itu, ketika ia tidak bisa lagi kuhubungi lagi, itu sebagai pertanda Melati menginginkan pertemanan ini berakhir. Aku bisa menerima ada ataupun tanpa alasannya. .
Ketika aku menikah dengan Amel, jauh-jauh hari sudah kukirimkan undangan untuknya. Tetapi ia tidak datang, meskipun aku berharap dia hadir untuk menyambung cerita baru dengan hati yang baru. Tapi kenyataan tak terjadi. Lambat tapi pasti nama Melati mulai makin jarang melintas dalam hati.
Hingga hari Jumat yang lalu aku dapat WA, “Minggu ketemu.”
Sudah pasti aku hapal dengan gaya bahasa lugas, sederhana dan he..he…tak ada romantis-romantisnya sama sekali. Tanpa memerikasanya lagi nomor hp nya siapa dan dimana ketemuannya aku langsung menuju warung bakso di depan kampus kami dulu. Dan Melatipun memang sudah ada di sana. Di sudut timur dengan meja kecil yang hanya cukup untuk dua orang. Melati duduk bersandar di tembok sambil sesekali melihat keramain jalan raya.Sedangkan aku duduk di kursi menghadap ke dinding kayu dan Melati menjadi satu-satunya pemandangan yang ada di sana.
*****
Tetapi yang kujumpai hari minggu ini sedikit berbeda, Melati sekarang bergincu, tebal lagi. Tetapi seluruh adegan cara kami menikmati bakso, tak ada yang berubah.
“Melati sudah menikah?” kulontarkan tanya setelah mangkuk bakso kami sama-sama kosong.
Dengan cuek Melati membiarkan pertanyaanku beberapa lama. Gincu tebalnya makin mebuatku risau menjadi-jadi.
Sambil mengaduk es the karena masih ada sedikit gula di bagian dasarnya. Suara es batu yang memembentur gelas, sepertinya masih seirama dengan suara es batu yang dulu.
Setelah seruputan es teh terakhirnya, Melati meminggirkan gelasnya.
Matamnya menatap serius kemudian menggeleng tanpa ekspresi.
Aku merasa bodoh dengan pertanyaanku tadi, sehinga mengalihkannya dengan mengaduk gelas yang sebenarnya sudah taka da isinya.
“Aku yakin kamu bahagia dengan keluarga kecilmu, selamat.” Melati tersenyum dan mengulurkan tangannya.
Kusambut, senyum dan ucapan selamatnya tetapi gincu tebalnya itu tidak membuatku bahagia.
Melati menumpuk mangkuk bakso yang sudah kosong. Biasanya setelah itu adegan berikutnya adalah kami berpisah menuju tempat kos masing masing. Sekarangpun seperti itu, Melati beranjak dari kursinya.
Berakhir. Dia memang Melati, tetapi Melati bergincu.
Tapi tunggu dulu…ada sesuatu yang aneh. Selamanya dia tidak pernah memanggilku dengan kamu…ya dia selalu memanggilku dengan Nde…. Senama dengan jajanan Onde-onde kesukaanku sejak kecil.
“Tunggu dulu, Melati. Kamu bukan Melati kan ?”
Melati berhenti sebelum melampaui pintu. Kutunggu reaksinya, pada kecurigaan terakhirku.
Melati duduk lagi. Tersenyum menatapku. Pantas saja. Dari dulu aku tahu Melati tidak pernah memakai gincu. Tetapi adegan demi adegan makan bakso yang sama persis membuatku tidak berpikir lain, dia pasti Melati. Tetapi bagaimana orang ini bisa sama persis dengan Melati, kecuali gincunya dan menyebutku dengan kata kamu.
“Saudara kembarnya Melati ?”
Kupikir itulah yang paling realistis. Melati mungkin merahasiakan padaku kalau dia punya saudara kembar. Dia pasti sering menceritakan hubungan kami. Begitu seringnya hingga saudara kembarnya ini tahu betul sedetail-detailnya kebiasaan kami berdua makan bakso. Tetapi sehebat-hebatnya peniru pasti ada terpelesetnya, Melati tidak pernah memanggilku, kamu.
Perempuan di depanku tersenyum, senyumnya persis senyum Melati. Tetapi aku sudah tidak mungkin tertipu lagi. Aku yakin dia saudara kembarnya Melati.
“Nde…aku Mawar.”
Dia memanggilku lagi dengan panggilan yang biasa dilakukan Melati. Mawar pasti kembarannya Melati. Mawar menyeret kursinya dan duduk di dekatku. Selembar foto diserahkannya padaku. Aku betul-betul terpana dan menatap foto itu begitu lama. Mawar segera beranjak pergi. Betul dugaanku, tampak Mawar berdiri sedikit berjauhan dengan Melati. Jelas yang tidak bergincu itu Melati sedangkan Mawar yang bergincu merah hati. Ditinggalnya foto itu untukku sebelum Mawar berlalu.
Teliti kupandangi, sampai kuyakini dia memang Mawar dengan gincu tebalnya dan bukan Melati. Keduanya kembar, sangat persis.
Tapi tunggu dulu, ini seperti dua foto disatukan kemudian difoto lagi. Sekembar-kembarnya orang kembar pasti tidak bisa sama persis. Tapi dua orang ini mulai dari tulang pipinya,bentuk dagunya, deretan giginya yang sedang tersenyum sama persis. Tidak berbeda sama sekali, kecuali yang satu memakai gincu.
Mmm, bisa jadi ini sama-sama Melati. Dia menyatukan fotonya yang bergincu dengan yang tidak bergincu kemudian difoto lagi. Dia sengaja memelsetkan diri memanggilku dengan sebutan kamu agar aku menduga dia Melati palsu padahal dia benar-benar Melati asli. Berarti Mawar tadi adalah Melati yang bergincu. Dia Melati.
Bakso kubayar. Rasa penasaran karena harus mengejar Melati sedangkan kunci motor tak ada di saku tas bagian depan. Sekarang pasti Melati sudah semakin jauh. Disaku celana, kunci motornya juga tidak ada. Di dalam jaket juga tidak ada karena ia sudah terbiasa memasukkan kunci motor ke saku tas bagian depan.
Peluang mengejar Melati tampaknya semakin kecil. Harapan satu-satunya semoga kunci itu masih menempel di motor.
Aku bergegas ke tepi jalan. Menuju motor yang kuparkir di bawah pohon tanjung yang rindang. Tukang parkir itu pasti masih mengenaliku dan Melati, juga motornya. Dan motor itu sudah tidak ada di tempatnya.
“Kata Melati, Mas Kamal di suruh menunggu dulu di sini. Silakan duduk Mas.” Kursi plastik disodorkan padaku. Lututku langsung gemetar.
“Mbak Melati titip ini,” bungkusan plastik kecil disodorkan padaku. Bungkusan berisi lipstick dengan aroma menyengat dan terasa murahan. Kubanting lipstick sial itu.
Melati atau bukan ??? keraguan muncul kembali, tetapi nasib motorku sudah pasti !!!