Juang Merdeka Jateng – Senin pagi baru dimulai, denyut pasar kecil itu tiba-tiba meninggi. Heboh dengan jawab tanya yang dilontarkan tergopoh-goph. Bukan karena harga sembako naik. Bukan juga karena harga daging yang melambung tinggi bersamaan dengan melambungnya janji pemerintah untuk segera menurunkannya, tapi tak terpenuhi. Tetapi yang membuat pasar kecil di sebuah kecamatan itu heboh adalah Gentho. Ya…karena Gentho! Pagi itu Gentho tidak nampak batang hidungnya. Padahal biasanya ia selalu berdiri di pintu gerbang pasar dengan gitar tuanya, bahkan sebelum para pedagang membuka lapaknya. Mengenakan seragam kebesaran, kaos singlet hitam bergambar tengkorak. Selalu bergambar tengkorak.
Tidak terdengar makian-makiannya pada tukang becak yang selalu menerobos ke tengah pasar sehingga menghalangi jalannya. Tidak terdengar gerutuan karena sepatunya menginjak lumpur amis di depan kios ikan Yu Mijah. Tidak terdengar teriakan pada Kang Rajan memesan secangkir kopi dan selalu ditutup dengan kata, “…ngutang dulu, Kang!”
Dan tidak terdengar sindirannya,”Awas, gerombolan serigala berbulu domba datang !”
Menyambut kedatangan para rentenir yang mulai beraksi. Berkeliaran menawarkan hutang. Menjerat leher pedagang kecil hingga mereka tetap menjadi kecil dan makin kurus. Nafas usaha yang tersengal-sengal, selamanya.
Juga tidak terdengar bentakan pada pegamen lain yang ketahuan mendahului masuk pasar. Karena dialah yang harus dapat giliran petama. Setelah itu dengan gitar yang dawainya tinggal dua ia berkeliling pasar. Kios demi kios disinggahi. Membawakan lagu Ayah-nya Ebiet. Dengan suara keras nan sumbang dan melodi yang datar nan hambar. Meskipun matanya terpejam berusaha meresapi syairnya tetap saja bukan getaran sahdu yang didapatkan. He…he…lebih menyerupai aba-aba pemimpin upacara. Diselingi ludah yang muncrat kemana-mana. Ditambah sedikit pelototan mata, dijamin para pedagang pasar pasti segera memberi recehan. Agar ia segera berlalu secepatnya.
Selesai mengamen, ritual berikutnya bergabung dengan dua teman gamblernya, Jan Cethuk dan Min Koplak. Ada saja model-model judi mereka. Mulai dari yang konvensional seperti domino dan remi. Kalau lagi bosan, apa saja bisa digunakan untuk berjudi. Mulai pingsut, Hom pim pah, batu-gunting-kertas bahkan nomor mobil ganjil atau genap bisa dijudikan. Yang penting judi. Melambungkan harapan dan keberuntungan baru yang mungkin bisa dimenangkan.
****
“Tumben, Gentho gak lewat. Biasanya ia selalu yang pertama mencicipi getuk manisku sebelum pembeli pertama datang,” kata Sunthi sambil memarut kelapa.
Dasri penjual cao di sebelahnya tersenyum. “Beruntung Gentho tidak pernah mengganggu caoku, tuh.”
“Ya…iyalah, siapa juga yang doyan cao doang!” Keduanya tertawa tapi segera menutup mulut dengan tangannya. Khawatir, jangan-jangan si Gentho lewat.
Di deretan kios baju terjadi obrolan yang hampir sama.
“Tidak melihat Gentho, Kang?” tanya Bah Tong penjual baju pada Kang Rajan yang sedang mengantar kopi pesanannya.
“Tidak, Bah. Dari tadi dia juga belum pesan…eh, ngutang kopi ke saya.”
“Kemarin Saya dikadali Gentho. Dia membeli celana pada saya, tetapi setelah dipakai sehari dikembalikan. Terus uangnya diminta lagi.” Bah Tong terlihat bersungut-sungut
Kang Rajan menggeleng-geleng kepala. Geli dengan kelakuan Gentho. Tapi kasihan pada Bah Tong yang jelas dirugikan.
“Alasannya karena warna dan mereknya persis dengan celana Pak Kasir, kepala pasar yang baru,” kata Bah Tong sambil merapikan tumpukan dagangan baju dan celana. Seisi pasar tahu,Gentho sangat membenci Pak Kasir yang dianggapn sok kuasa, sok ngatur-ngatur.
Kang Rajan bergegas ke kios kopinya. Takut yang dibicarakan lewat. Ia hanya pedagang kecil. Tidak berani bersinggungan dengan siapapun. Selama masih bisa berdagang, dengan keuntungan sekecil apapun ia sudah merasa bersukur. Yang penting masih ada sesuap nasi untuk anak dan isteri. Sekadar menyambung umur yang pasti makin uzur. Agar kedua kaki yang menyangga nasibnya, tidak tercebur ke lembah kemiskinan semua.
Ketika jam sebelas Gentho belum muncul juga, para pengamen resah. Mereka bergerombol di sekitar gerbang pasar menunggu giliran ngamen. Jika mereka berani mendahului Gentho, pasti hasilnya dirampas. Karena Gentho belum juga muncul, sebagian segera bergiliran masuk pasar mulai beraksi. Keburu pasar menjadi sepi. Sebagian lagi pergi sambil mengumpat. Karena jelas rejeki hari ini telah lewat.
Menit demi menit berlau. Jam demi jam berganti. Hingga jam dua Gentho tidak munculu juga. Pasar mulai lengang.Satu persatu kios ditutup.
Pakdhe Kelik, pemilik kios bakso di sudut selatan pasar selalu tutup terakhir. Sebelum tutup biasanya Gentho datang. Pesan bakso super komplit. Maksudnya dengan tambahan beberapa potong tulang gratis. Tulang yang biasanya direbus bersama kuah agar menjadi sedap dengan aroma daging sapi yang kuat.
Asyik sekali Gentho menggerogoti tulang-tulang dengan sedikit daging yang masih tertinggal. Ia selalu duduk di dekat jendela. Setelah puas, tulangnya langsung dibuang lewat jendela. Menumpuk dan berserakan di dekat gundukan sarang rayap, di samping selokan. Kata Gentho untuk santapan para setan penghuni pasar. Karena Gentho tidak muncul juga, Pakdhe Kelik membawa pulang tulang-tulang itu ke rumah untuk Rozan, anak bungsunya yang menyukai bakso dengan beberapa potong tulang.
Pasar akhirnya benar-benar lengang, di mana Gentho gerangan ?
Seisi pasar tahu, Gentho punya kebiasaan tahunan absen di dua kesempatan. Pertama, kalau tanggal 17 Agustus. Bukan karena jadi peserta upacara bendera di kecamatan. Apalagi jadi tamu istimewa dan duduk di bawah tenda kehormatan. Tetapi sehari sebelumnya ia selalu mengedarkan sticker peringatan hari kemerdekaan. Entah dari mana dia mendapatkannya. Yang pasti ia selalu menjualnya cukup mahal. Mungkin dari keuntungannya itu, ia merasa perlu cuti sehari. Dan memberi kemerdekaan pada penghuni pasar dari gema lagu-lagu sumbang dan teriakan- teriakan kasarnya.
Kedua, lebaran dan dua hari setelahnya. Tetapi bukan karena mudik. Sehari sebelum lebaran, ia selalu ngamen dengan lagu rohani spesial. Lagu Lebaran Sebentar Lagi. Masih dengan suara keras nan sumbang, masih dengan ludah yang muncrat ke mana-mana. Masih dengan pelototan mata. Ia selalu minta dua kali lipat dari tarif ngamen biasa. Katanya untuk pesangon hari raya. Mungkin karena uangnya masih cukup maka pada dua hari setelah lebaran ia tak muncul ke pasar.
Di hari ke tiga setelah lebaran, para pedagang selalu berharap Gentho memperpanjang cutinya. Atau ia segera mendapat hidayah dan bertobat mengubah perilakunya. Tapi di hari ke tiga setelah lebaran, hmm…ia pasti muncul juga. Pagi-pagi sudah berdiri di pintu gerbang. Dengan kaos hitam barunya, tapi tetap bergambar tengkorak juga. Setelah itu terdengar suara sumbangnya, teriakan dan makiannya. Seperti biasa.
*****
Keesokan harinya, hari selasa…pasar lebih heboh lagi. Ternyata… kemarin Gentho tidak muncul di pasar karena malam sebelumnya ia ditangkap polisi. Kabar yang beredar Gentho akan membakar pasar. Paling tidak itu berita yang muncul di koran pagi. Dengan gambar Gentho duduk, muka tertunduk di hadapan seorang polisi. Tangan terborgol. Sedang menghadapi interogasi.
“Tak tahu diri. Dari kecil dia kan cari makan di pasar ini!” Sunthi memarut kelapa untuk gethuk manisnya sambil bersungut-sungut.
“Kualat itu namanya !” Dasri mengiris cao sambil menggerutu juga.
“Sukurlah kalau ditangkap polisi. Sekarang tidak ada yang makan gethuk gratis setiap pagi. Yess !” Sunthi menimpali. Keduanya tertawa, tapi segera menutup mulut dengan tangannya. Takut Gentho sudah dilepas dan tiba-tiba berdiri di depan mereka.
Di deretan kios pakaian juga terjadi obrolan yang sama.
“Kalau Gentho ditahan, siapa yang akan membayar hutang dua kaosnya. Rugi saya.” Bah Tong merapikan baju dan celana dagangannya.
Kang Rajan yang mengantar kopi ikut menambahi, “Saya sih iklas saja, entah berapa cangkir kopi yang tidak dibayar. Percuma dipikirin terus, tapi tidak terbayar juga.” Kang Rajan berlalu. Berbaur dengan hiruk pikuk di pasar itu.
Semua berlalu seperti biasa. Becak masih seenaknya masuk sampai ke tengah pasar hingga lorong-lorong pasar berjubel dalam kemacetan. Deretan parkir yang memakan setengah jalan membuat angkutan terseok-seok menerobos di tengah kemacetan. Yu Mijah masih seenaknya membuang air bekas cucian ikan di depan kiosnya. Hingga bau amis menyengat siapapun juga yang melewatinya. Sekaligus menjadi penanda, di situlah deretan kios-kios penjual ikan berada.
Para pengamen senang bukan kepalang. Mulai hari itu mereka tidak usah menunggu giliran. Karena Gentho sekarang meringkuk dalam tahanan. Para rentenir tak lagi gemas dengan sindiran-sindiran Gentho yang membuat telinga panas. Mungkin aksi mereka berikutnya akan semakin ganas. Menguras keuntungan pedagang kecil sebagai tambang emas.
Masih jam sebelas, Pakdhe Kelik menutup kios baksonya. Tidak seperti biasa, selalu tutup diatas jam dua. Dibungkusnya bakso super komplit. Lengkap dengan beberapa potong tulang dengan sedikit daging yang masih menempel di sana-sini. Ditanya Yu Mijah, ia memilih bungkam. Ketika ditanya Bah Tong, ia tetap diam. Motor bututnya dipacu menembus siang yang terik dan jalan yang berdebu. Mampir sebentar di sebuah kios penjual es degan. Ia segera melaju, penuh konsentrasi. Dan tujuan akhirnya adalah kantor polisi. Oo…
Gentho makan bakso dengan lahapnya. Tulang sapi dengan sedikit daging disana-sini dengan rakus digerogoti. Sesekali sumsum tulang dihisap dengan ekspresi sejuta nikmat. Rasa asam manis berbaur saos super pedas mengalihkan perhatiannya pada sebungkus es degan rasa gula Jawa. Amboi…nikmatnya. Muka Gentho langsung memerah penuh gairah. Keringat diseka dengan kaos baru berwarna biru. Dengan tulisan angka berwarna kuning menyolok mata. Kaos kebesaran baru, kaos tahanan.
“Dua hari yang paling terasa menyiksa bukan dinginnya kamar tahanan.” Gentho mengawali pembicaraan karena dari tadi Pakdhe Kelik hanya diam memperhatikan.
“Bukan pula nyamuk yang banyaknya bukan alang kepalang.” Gentho menyendok kuah bakso terakhir. Pakdhe Kelik tetap diam terpaku.
“ Apalagi pada sesama tahanan yang cuma penjahat kelas recehan.” Gentho menyedot habis es degan. Dan ditutup dengan sendawa yang keras. Seperti biasa ketika makan bakso di pasar.
“Lalu, apa yang menyiksamu. Apa intrograsi yang kasar?” Pakdhe Kelik bertanya setengah berbisik. Takut suaranya terdengar penjaga.
“Bukan… bukan itu, Pakdhe. Tapi…tapi karena tidak bisa menikmati bakso di kios Pakdhe Kelik,” kali ini Gentho menjawab dengan terbata-bata. Muka setengah tertunduk dan mata yang sembab membendung tumpahan air mata.
Justru air mata Pakdhe Kelik tumpah duluan. Dipeluknya Gentho erat-erat. Gentho selama ini dianggap seperti anaknya sendiri. Dibuatkan bakso selezat ketika membuatkan bakso untuk anak sendiri. Melalui bakso, suasana batinnya terhubung dengan batin Gentho. Gentho yang selalu merasa nyaman berada di kios baksonya. Yang selalu lahap menghabiskan bakso sambil jegrang kakinya. Serasa makan di rumah sendiri. Tak peduli, ia membayar atau tidak. Uangnya kurang atau ngutang. Pakdhe Kelik tak peduli.
Mungkin Pakdhe Kelik satu-satunya pedagang pasar yang tak pernah menggunjing perilaku Gentho. Dalam hatinya hanya ada doa. Karena ia melihat ada sesuatu yang berbeda dari Gentho. Ya…sesuatu yang tidak mungkin bisa terlihat oleh mereka yang selalu menggunakan sorot mata nyinyir dan muak pada kekasaran Gentho yang memang kasat mata.
Gentho pemilik identitas kasar nan beringas. Mulut suka nyerocos tangan main jotos. Kalau membeli barang hanya ada tiga peluang, uangnya kurang, ngutang dan berujung ngemplang. Maka entah siapa yang memulainya, panggilan Gentho serasa pas disandangkan padanya.
“Benarkah kamu akan membakar pasar?” Tampak Pakdhe Kelik berhati-hati sambil memperhatikan Gentho bereaksi.
“Hampir, tapi yang akan kubakar sebenarnya hanya ruang kepala pasar” jawab Gentho dengan enteng dan wajah yang sangat dingin.
Pakdhe Kelik gundah. Ada gurat kekecewaan. Dalam hati ia berharap semua peristiwa buruk ini bukan kenyataan. Ia berharap Gentho tak seburuk yang digambarkan orang. Dan harapan itu sia-sia. Tak ada sisi lain dibalik kekasasaran dan keberingasan Gentho, karena ternyata dia benar-benar bajingan.
“Siang itu aku dipanggil kepala pasar sok kuasa itu. Aku dimaki-makinya sebagai biang onar, pecundang dan benalu bagi para pedagang !” Wajah Gentho menegang, menahan dendam yang mendalam. Gentho melanjutkan ceritanya. Malamnya ia membawa dua liter bensin. Ketika bensin baru sedikit disiramkan, patroli polisi lewat. Polisi curiga, ia segera menyelinap. Bersembunyi di belakang kios bakso Pakdhe Kelik. Ia hapal betul tempat itu. Ada gundukan tanah sarang rayap tempat ia sering membuang tulang sisa bakso.
“Aku mengendap di gundukan tanah itu. Para polisi sibuk mencari dan hampir putus asa. Tapi para setan penghuni gundukan tidak terima. Mereka menyamar menjadi semut dan menyelusup ke celana dan baju. Gigitannya sangat panas dan gatal. Aku tidak tahan dan berusaha menghalau siluman-siluman semut sial itu. Sialnya lagi kakiku terpelset dan tercebur selokan. Katika akan naik, dua polisi itu sudah berdiri di depanku.”
Jika itu bukan kisah nyata, pasti Pakdhe Kelik tertawa. Pada sepenggal komedi dalam kisah tragedi. Gentho, gundukan tanah sarang setan, selokan, sisa tulang dan tertangkap polisi. Sungguh tak ada bagian indahnya.
“Oh iya, Pakdhe. Aku tidak tahu akhir kasus ini seperti apa. Tolong Pakdhe Kelik mengambil gitarku yang mungkin masih ada di selokan itu. Pecahkan dan tunjukkan isinya pada kepala pasar yang sok kuasa itu. Satu lagi, Pakdhe Kelik tidak usah membuang tulang dekat gundukan tanah itu. Para setan penghuninya sungguh tak tahu diuntung.” Gentho berlalu. Pakdhe Kelik lebih cepat berlalu.
*****
Motor tuanya melaju menembus jalanan yang panas berdebu. Masuk ke dalam pasar dengan tergesa. Ditanya Bah Tong, mimilih diam. Ditanya Yu Mijah memilih bungkam. Benar saja, gitar Gentho masih mengambang tersangkut tumpukan sampah yang menjejali selokan. Ada tas kresek warna hitam di dalamnya. Bergegas dibawanya tas yang belepotan lumpur ke ruang kepala pasar. Bah Tong mengernyit menyelidik. Yu Mijah termangu-mangu menahan rasa ingin tahu.
“Ini titipan dari Gentho.” Lumpur busuk membasahi meja Pak Kasir. Ia terlihat jijik ketika membuka bungkusan itu. Ternyata isinya buku tulis. Oh…tidak Cuma itu, didalam buku terselip dua lipatan kertas lain. Kertas pertama hanya satu lembar. Ternyata Kartu Keluarga yang berlakunya sudah habis sepuluh tahun yang lalu. Di dalamnya tercantum tiga nama, Mustamam bin Ali Hasan, Imroatin binti Lukman dan Mustaim. Lipatan kertas berikutnya agak tebal. Dari sampulnya jelas, itu sertifikat tanah. Hati-hati pak Kasir membukanya. Nama pemiliknya, Ali Hasan. Luasnya 2600 m². Dan alamatnya ??? Jalan Kesejahteraan No. 9. Tepat dimana ia duduk saat ini. Pak Kasir kaget, Pakdhe Kelik ikut kaget.
“Apa hubungannya dengan Gentho?” satu pertanyaan yang sama berkecamuk dibenak mereka berdua.
“Dari mana dia mencurinya ?” selidik Pak Kasir curiga.
“Tidak mungkin !” Pakdhe Kelik ikut penasaran. Di ambilnya buku itu. Dibukanya halaman demi halaman barangkali ada catatan yang bisa memberi penjelasan. Halaman demi halaman dibuka tak ada tulisannya sama sekali. Pakdhe Kelik hampir putus asa, Pak Kasir yakin Gentho mencurinya.
Tetapi dibalik lembar terakhir, Pakdhe Kelik kaget, Pak Kasir ikut kaget. Terselip sebuah KTP dengan masa berlaku sudah kedaluarsa lima tahun yang lalu. Tapi foto di KTP itu masih jelas. Itu adalah? Ya! Itu jelas wajah Gentho. Nama aslinya Mustaim bin Mustamam. Jadi pemilik lahan pasar ini sebenarnya ???
Pak Kasir bergegas pergi. Pakdhe Kelik mengikuti. Ditanya Yu Mijah yang sedang berada di kios Bah Tong, keduanya kompak menjawab. “Ke kantor polisi!”
Pak Kasir sibuk berandai-andai. Setelah peristiwa ini ia akan menghadap Pak Camat. Mengusulkan agar Gentho mendapat panghormatan. Kalau perlu setiap tahun diundang dalam acara tujuh belasan karena ia layak duduk di bawah tenda kehormatan.
Pakdhe Kelik tersenyum penuh kebahagiaan. Sudah lama ia iklas menjadi jawaban dari lagu Ayah-nya Gentho. Yang ia bahasakan lewat semangkuk bakso.
Sesampai di kantor polisi, penjaga menyodorkan selembar kertas pada mereka berdua.
“Tolong jangan temui saya lagi. Saya iklas.” Ttd, Gentho.
Air mata Pak Kasir tumpah. Pakdhe Kelik juga, untuk kedua kalinya.
Hari-hari berikutnya pasar kembali seperti semula. Hanya Pak Kasir yang berubah, aura mengayominya lebih terasa. Sementara Pakdhe Kelik sibuk mencari gentho-gentho baru untuk dimunajatkan dalam doa. Dan para setan yang ada di gundukan tanah itu blingsatan tak karuan. Semenjak Gentho pergi, tak ada lagi yang memberikan potongan-potongan tulang untuk mereka
Penulis : T. Sumarta