Juang Merdeka, Jateng – Pada kurun waktu tahun 1960-1970 an di Amerika Serikat muncul krisis di lingkungan pendidik terhadap mata pelajaran sejarah. Krisis tersebut dipicu oleh munculnya sikap pesimisme, skeptisme bahkan penolakan terhadap mata pelajaran sejarah.
Serangkaian artikel dengan judul bombastis, misalnya :Why Study History ?, The Erosion of History bahkan The End of Historysangat merugikan bagi kelangsungan mata pelajaran sejarah.
Berbagai kritik tersebut kemudian mendapat respon yang konstruktif dari para ahli dan pendidik sejarah dengan memberikan penguatan pada konsep-konsep dasar tentang nilai sejarah, nilai instrinsik edukatif sejarah serta cara pembelajarannya (Gde Widja, 1992:58).
Kritikan terhadap ilmu sejarah dan pembelajaran sejarah mendapat respon yang konstruktif sehingga melahirkan kwalitas pembelajaran sejarah yang lebih baik dan bermakna.
Peristiwa sebaliknya terjadi di Blora. Pada 4 Pebruari 2013 di harian Suara Merdeka, Bupati Blora Joko Nugroho melemparkan gagasan agar Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga mengupayakan memasukkan cerita sejarah sebagai pelajaran lokal.
Jika diimplementasikan dalam konteks pendidikan, gagasan tersebut berarti saran agar ada pembelajaran Sejarah Lokal, baik mandiri sebagai mata pelajaran maupun disisipkan dalam mata pelajaran yang relevan (IPS).
Gagasan tersebut kemudian penulis sampaikan ke blog MGMP IPS. Diskusi dalam blog tersebut tidak menunjukkan kemajuan yang konstruktif untuk mencoba mengimplementasikan pembelajaran sejarah lokal ditingkat siswa secara sistematik.
Sangat disayangkan, gagasan Bupati Blora kurang mendapatkan respon yang memadai. Padahal jika ditindaklanjuti dapat menjadi sebuah kemudahan untuk menghilangkan potensi hambatan-hambatan struktural dalam memasukkan pembelajaran sekarah lokal di tingkat siswa.
Prospek pembelajaran sejarah lokal melewatkan dan kehilangan sebuah momentum untuk menerobos kearah kemajuan yang lebih signifikan terhadap pembelajaran Sejarah Lokal Blora yang sangat besar potensinya.
Momentum untuk revitalisasi, reaktualisasi posisi sejarah lokal terlewati dengan percuma pada saat itu. Sejarah lokal kembali sunyi dari pemberitaan lagi seperti biasanya.
Belem sempat berada ditengah, sejarah lokal kembali terpinggirkan. Sayangnya saat itu justru ketika momentum itu sudah disodorkan ke dalam komunitas guru IPS itu sendiri (Blog MGMP IPS).
Padahal potensi Sejarah Lokal Blora tergolong luar biasa.Blora memiliki potensi arkeologi berlevel internasional, misalnya; fosil gajah hysudindricus dari Sunggun, fosil manusia goa Kidang dari Todanan, Homo Soloensis (Homo Sapiens) dari Ngandong, sejarah perminyakan dan gerakan Saminisme.
Memang dua fenomena diatas bukan sebuah perbandingan yang aple to aple. Antara arus pemikiran pendidikan sejarah di Amerika dengan di Indonesia tentu berbeda.
Bahkan bukan hanya sejarah lokal, pembelajaran Sejarah Nasional pun terhimpit ketika misalnya Sejarah dipadukan dengan Geografi, Ekonomi dan Sosiologis dalam mapel IPS. Awalnya empat mapel tersebut berdiri sendiri dengan masing-masing diajarkan dua jam perminggu.
Sebuah penggabungan yang sulit dimengerti karena secara filosofis dan metodologis keempatnya mempunyai banyak perbedaan. Bahkan pada level teoritisasi, para teoritisi keempat ilmu tersebut menemukan hambatan yang besar.
Dan yang lebih tragis lagi, gabungan keempat mapel tersebut diikuti dengan pengurangan jam dari semula enam menjadi empat.
Kembali ke Sejarah Lokal di Blora, momentum memunculkannya dalam pembelajaran hilang.
Jika dibandingkan dengan respon di Amerika, memang terjadi perbedaan respon.
Salah satu sudut pandang untuk menakar respon dengan melihat intensitas responnya.
Intensitas respon dari guru di kedua negara yang berbeda dapat diinterpretasikan (secara kualitatif) dengan pendekatan teori respon. Dalam Teori Respon, setiap jenis respon dapat menunjukkan kapabilitas, pandangan subyektif terhadap peristiwa yang dihadapi dan capaian yang diinginkan.
Sehingga akan muncul dua jenis respon, yaitu respon positif dan respon negatif (Michael Quinn Patton, 2006: 51)
Mewujudkan pembelajaran Sejarah Lokal memang bukan hal yang mudah. Sekalipun ada dukungan secara struktural, maka proses-prosesnya setidaknya memiliki landasan konstitusional/yuridis, filosofis dan sosiologis.
Juga kesesuaian dengan teori-teori pembelajaran agar ada kaidah ilmiah yang menjadi panduan.
Sehingga secara diametral tidak bertentangan dengan visi, misi dan tujuan pendikan nasional dengan turunan operasionalnya berupa kurikulum yang diberlakukan.
Ini berarti harus ada upaya merumuskan konsep pentingnya Sejarah Lokal bagi perkembangan sebuah bangsa yang berbhinneka dan perkembangan kepribadian siswa yang peduli terhadap sejarah,budaya dan kearifan lokal masyarakatnya. Sehingga memiliki alasan yang kuat untuk memasukkan Sejarah Lokal dalam proses pembelajaran.
Jika landasannya kuat dan telah sesuai maka langkah selanjutnya adalah menyusun materi dan strategi untuk melakukan integrasi (penyatuan) ke dalam pembelajaran di level pendidikan dasar.
Sejarah Lokal penting bagi character building dengan meletakkan kearifan lokal pada bulan bingkai kebhinekaan. Masih sangat terbuka peluang mengintegrasikan Sejarah Lokal dalam pembelajaran dengan beberapa alternatif strategi.
T Penulis : Tri Martana (Wakil Ketua I DPC Petanesia Blora)