Pudarnya Unggah Ungguh Risiko Pembelajaran Daring

Advertisement

Juang Merdeka Jateng – Unggah-ungguh merupakan kekhasan kodifikasi atatau sistem interaksi sosial di masyarakat etnis Jawa . Unggah-ungguh dapat berbentuk perilaku, tutur kata baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Unggah-ungguh secara ssosial menjadi bagian penting bagi masyarakat Jawa dalam menjaga harmini dalam relasi dan interaksi sosial .

Pembelajaran daring yang digunakan pada masa pandemic berdampak langsung terhadap kemampuan unggah-ungguh siswa. Secara spesifik uanggah-ungguh memang diajarkan dalam mata pelajaran bahas Jawa. Tetapi dalam praktiknya unggah-ungguh menjadi pedoman bertutur kata yang luas bagi siswa ketika disekolah maupun di rumah. Dengan demikian uanggah-ungguh bukan semata tori berbahasa tetapi juga praktik berbahasa. Pembelajaran daring menyebabkan guru menjadi kurang maksimal untuk mengajarkan, melatih dan mengevaluasi unggah-ungguh siswa. Termasuk unggah-ungguh dalam berjejaring sosial. Frekuensi siswa yang tinggi dalam bermedia sosial menyebabkan unggah-ungguh menjadi sangat krusial agar terhindar dari potensi konflik yang cukup tinggi di media sosial.

Unggah-ungguh menurut bahasa adalah gabungan dari dua kata yaitu kata unggah dan kata ungguh. Kata unggah dalam kamus bahasa Jawa disama-artikan dengan kata munggah yang artinya naik, mendaki, memanjat. Maka kecenderungan orang Jawa dalam menghormati orang lain didasarkan pada tingkat kedudukan atau derajat yang lebih tinggi. Kedua kata tersebut jika digabung menjadi unggah-ungguh artinya sopan santun, basa basi atau tata krama. Ini menunjukkan bahwa orang Jawa dalam bergaul dalam masyarakat selalu memperhatikan aturan sopan santun dan tata krama demi menjaga keselarasan sosial dan tercapainya hidup rukun, aman, damai dan sentausa tanpa ada konflik.

Menurut S. Soemiati Soetjipto mengartikan unggah-ungguh sebagai pola tingkah laku manusia yang beradab, dan menyamaartikannya dengan istilah sopan santun, yaitu suatu peradaban lahiriah yang mencakup semua perilaku manusia yang keluar dari rasa sadar selera baik. Dalam hal ini sama dengan pemahaman dalam pandangan Islma, konsep ini merupakan perwujudan tawadhu’.

Unggah-ungguh sebagai tindakan

Aktivitas penyampaian pesan melalui media sosial bergerak begitu deras, hampir tak dapat dibendung. Sugesti what do you think (apa yang kamu dipikirkan) telah menginspirasi dan memotivasi para netizen (warganet) untuk memainkan tombol-tombol keyboard gawainya, merangkai huruf-huruf menjadi kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Ironisnya, semangat berkata-kata secara tertulis ini tidak dibarengi dengan sikap positif penggunaan tutur bahasa.

Acap kali kita temukan ketimpangan komunikasi (miscommunication) antara penulis dan pembaca karena penggunaan tutur bahasa, bahkan tak jarang kita dapati kebablasan berkomunikasi (lost communication) tersebab pengolahan pesan yang tak terkendali atau yang sengaja dibenturkan. Sehingga tidak saja berakibat pada rusaknya sendi-sendi tata bahasa tetapi juga hancurnya nilai-nilai persaudaraan antarkomunikan. Untuk itu perlu internalisasi unggah-ungguh pada siswa baik dalam menggunakan tutur kata maupun dalam memandang lawan bicara.

Unggah-Ungguh mungkin berasal dari Jawa, namun secara umum ia sangat mewakili sifat masyarakat Indonesia. Dalam Unggah-Ungguh kita diajarkan banyak hal terutama soal sikap menghormati. Kemasannya nggak hanya dalam sikap saja, tapi juga bahasa. Di Jawa kamu tahu kan kalau bahasa itu dibagi dalam beberapa tingkat. Ada yang namanya Ngoko, Krama, dan Krama Inggil. Masing-masing bahasa di tiap level berbeda tergantung kepada lawan bicaranya. Hal semacam ini masuk dalam Unggah-Ungguh.

Unggah-Ungguh dalam sikap ditunjukkan lewat banyak cara. Misalnya dengan membungkukkan badan ketika lewat di depan orang-orang yang lebih tua, tidak menatap mata orangtua ketika berbicara, tidak bersuara lebih keras, dan sebagainya. Unggah-Ungguh sendiri mungkin identik dengan Jawa ya, tapi sikap ini rasanya semua orang Indonesia punya. Dari ujung ke ujung, para orangtua di negara ini pasti mengajarkan sikap sopan santun dan juga tata krama. Sikap Unggah-Ungguh yang penting belakangan sudah mulai banyak ditinggalkan. Kalau melihat fenomena yang ada sekarang terutama pada anak-anak muda, mereka sudah tak lagi menunjukkan hal-hal semacam ini. Nilai-nilai luhur tata krama dan sopan santun seolah pudar berganti dengan sikap ala-ala orang-orang luar yang sama sekali bukan Indonesia.

Penulis : Mimin Suparmi, S.Pd, SMPN 1 Tunjungan, Kabupaten Blora.

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *