Rekonstruksi Konsep Kepemimpinan Profetik dalam Bingkai Epistemologi Islam

Advertisement

Juang Merdeka, Blora – Kepemimpinan profetik dalam Islam berakar dari model kepemimpinan yang dijalankan Nabi Muhammad SAW, yang tidak hanya berfungsi sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai guru spiritual, reformis sosial, dan pembaharu peradaban.

Model kepemimpinan ini tidak dibangun di atas kekuatan fisik atau politik semata, tetapi pada integritas moral, kekuatan spiritual, dan komitmen terhadap nilai-nilaikemanusiaan universal seperti keadilan, kasih sayang, kejujuran.

Dalam tradisi Islam,kepemimpinan (al-imāmah atau al-riyāsah) adalah sebuahamanah (tanggung jawab ilahiah) yang  dijalankan penuh kesadaran dalam dimensi duniawi dan ukhrawi.

Seorang pemimpin dalam paradigma profetik tidak hanya dituntut untuk mengelola pemerintahan  secara efektif, juga membimbing masyarakat menuju tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan syariat) yang meliputi penjagaan agama, jiwa,akal, keturunan, dan harta.

Empat karakter utama kenabian (ṣidq, amānah, tablīgh, dan faṭānah) dijadikan sebagai fondasi moral kepemimpinan profetik.

Sidq mencerminkan kejujuran dan transparansi dalam berucap dan bertindak; amānah, mencerminkan tanggung jawab, kepercayaan, dan integritas.

Tablīgh menunjukkan komitmen terhadap penyampaian kebenaran tanpa manipulasi informasi;  faṭā nah mencerminkan kecerdasan strategis dan kebijaksanaan dalam memecahkan masalah.

Kerangka Epistemologi Islam dalam Memahami Kepemimpinan.

Untuk merekonstruksi konsep kepemimpinan profetik secara lebihkontekstual dan relevan, diperlukan kerangka epistemologi Islam sebagai metode berpikir.

Epistemologi Islam integrasikan tiga sumber utama pengetahuan: wahyu (al-Qur’an dan Hadis), akal (‘aql), dan empiris -realitas (wāqi‘īyah).

Dalamkerangka ini, kebenaran tidak hanya ditentukan oleh hasil observasi atau logika semata, tetapi juga ditimbang berdasarkan nilai transendental, prinsip normatif bersumber dari wahyu.

Melalui pendekatan epistemologis ini, konsep kepemimpinan profetik dapat dimaknai bukan hanya sebagai warisan teks keagamaan yang bersifat normatif, tetapi sebagai konsep dinamis yang dipahami, diterapkan dalam berbagai konteks historis dan sosial.

Dengan kata lain, epistemologi Islam memungkinkaninterpretasi progresif atas nilai-nilai profetik, sepanjang tetap berakar pada sumber otoritatif Islam.

Dalam kerangka ini, metode ijtihad, qiyās, dan ijtihād jamā‘ī sangat pentinguntuk mengembangkan pemikiran kepemimpinan Islam yang responsif terhadaptantangan zaman modern, seperti krisis moral, korupsi kekuasaan, dan kepemimpinan yang kehilangan orientasi nilai.

Rekonstruksi Kepemimpinan Profetik

Konsep kepemimpinan profetik menuntut pendekatan kontekstual, kritis, dan aplikatif. Dunia kontemporer menghadapi berbagai tantangan serius dalam bidang kepemimpinan, krisis etika publik, hegemoni materialisme, dan terpinggirkannya nilai spiritual dalam tata kelola kekuasaan.

Kepemimpinan profetik tidak sekadar relevan, tetapi mendesak diaktualisasikan. Rekonstruksi dimulai dari penguatan dimensi nilai, di mana seorang pemimpin harus membangun orientasi nilai-nilai dasar profetik seperti keadilan (al-‘adl), rahmat (al-raḥmah), hikmah (al-ḥikmah), musyawarah (al-shūrā).

Nilai-nilai ini dijadikan kerangka etika kepemimpinan, bukan hanya untukpengambilan kebijakan, juga dalam membangun relasi sosial yang adil dan manusiawi.

Selanjutnya, kepemimpinan profetik dikontekstualisasikan pada  sistem organisasi, lembaga serta pemerintahan modern.

Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan nilai-nilai profetik.

Misalnya, prinsip transparansi dan
akuntabilitas dalam tata kelola organisasi dapat diturunkan dari nilai ṣidq danamānah dalam tradisi kenabian.

Terakhir, kepemimpinan ini harus dilengkapi  dengan kemampuan
manajerial dan strategis (faṭānah), agar mampu menjawab tantangan praktis seperti kompleksitas sosial, ekonomi, dan teknologi. Kepemimpinan profetik bukan hanya etis dan spiritual, tetapi juga adaptif dan solutif.

Kesimpulan

Kepemimpinan profetik dalam Islam merupakan model ideal yang
menempatkan nilai-nilai kenabian sebagai fondasi kepemimpinan.

Konsep ini tidak hanya berorientasi pada efektivitas struktural, juga menekankan transformasi moral, spiritual, dan sosial.

Empat sifat utama kenabian ṣidq, amānah, tablīgh, dan faṭānah menjadi prinsip-prinsip dasar dalam membentuk karakter dan etika kepemimpinan yang holistik dan berorientasi kemaslahatan umat.

Dalam bingkai epistemologi Islam, kepemimpinan profetik juga dapat
direkonstruksi melalui pendekatan integratif antara wahyu, akal, dan realitas sosial.

Pendekatan ini memungkinkan pemaknaan ulang  konsep kepemimpinan agar selalu relevan dengan tantangan zaman tanpa harus kehilangan akar pada nilai – nilai transendentalnya.

Kepemimpinan profetik  dimaknai sebagai model kepemimpinan etis transformasional, yang mampu merespons krisis moral, korupsi kekuasaan, serta disorientasi nilai dalam tata kelola kepemimpinan
kontemporer.

Rekonstruksi tidak hanya bersifat teoritis, juga aplikatif, terutama  prinsip- prinsip profetik ketika diintegrasikan dalam dalam sistem pendidikan, organisasi, dan pemerintahan modern.

Kepemimpinan profetik yang dibangun atas dasar keadilan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab ilahiyah diharapkan menjadi solusi alternatif  membangun peradaban yang berkeadilan, bermartabat, berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan universal.

Ahmad Nursakir (HMI Cabang Blora)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *