Proposal

Advertisement

Juang Merdeka – Ki Sarito menyodorkan map berisi proposal dengan ragu. Terselip rasa malu kepada Kepala Dinas yang ada di depannya, Pambagyo teman semasa di SMA dulu. Lengkap dengan gelar Drs di depan dan M. Hum di belakang.  Ia merasa malu karena seperti  nempil kamukten, memanfaatkan kedudukan teman yang sedang punya kuasa.

“Tolonglah Mas Bagyo”.

Pambagyo tidak mengeluarkan sepatah katapun. Ia hanya membolak-balik halaman proposal itu, entah apa yang ingin diketahuinya.  Tetapi tak satupun pertanyaan diajukan Pambagyo. Suasana benar-benar menjadi hambar dan kaku. Ruangan ber-AC terasa seperti gudang tua yang pengap. Ki Sarito berharap Pambagyo menanyakan apa saja, terutama tujuan pengajuan proposal itu.

Ia ingin menjelaskan pada Pambagyo betapa adiluhung  nilai-nilai yang terkandung di dalam kisah-kisah yang dipentaskan dalam pagelaran wayang. Keadiluhungan wayang bukan semata-mata hanya dari sisi ajaran moralnya, tetapi dalam pagelaran wayang juga tersimpul ketinggian karya seni rupa, seni musik dan suara, seni drama dan monolognya.

Pendek kata, pagelaran wayang merupakan salah satu puncak tertinggi dari monumen peradaban masyarakat Jawa. Tetapi sayangnya, monumen itu mulai tergerus dari dasarnya, retak dan kusam pada dinding penyangganya dan terpancung di puncak menaranya.

Untuk itu Ki Sarito mengajukan proposal Pelatihan Pedalangan dan Karawitan untuk siswa-siswa di beberapa sekolah favorit yang biasanya siswanya pintar-pintar dan berasal dari keluarga kaya. Dengan harapan benih kecintaan pada wayang akan disemaikan di ladang yang benar-benar subur dan mempunyai masa depan.

Ia juga siap ditanya mengapa pelatihan itu harus memakan biaya sampai ratusan juta. Ia akan menjelaskan bahwa pelatihan itu mempunyi jangka waktu yang lama agar  bibit-bibit dalang dan para penabuh gamelan mendapatkan gemblengan dari Ki Sarito  dan penabuh gamelannya yang benar-benar teruji dan mumpuni. Ratusan juta dana itu bukan sebuah pertaruhan yang sia-sia dibandingkan hilangnya sebuah identitas budaya dikalangan siswa  dan para pemuda.

Bahkan Ki Sarito juga siap ditanya sampai hal yang kecil, misalnya mengapa sampul proposal itu bergambar tokoh Yudhistira. Akan ia jelaskan bahwa Yudhistira simbol tokoh yang teguh memegang prinsip dan tidak gila tahta. Nilai-nilai itulah yang sebagian akan diajarkan dalam pelatihan nanti. Membekali anak muda agar teguh memegang idealisme, tidak serakah dan gila jabatan. Selain tentu saja karena Yudhistira adalah tokoh wayang  idolanya.

“Mas Bagyo pasti masih ingat pada Pak Yudhistira, guru Seni Rupa kita dulu”.

Ki Sarito mulai sedikit berbasa-basi. Pambagyo menutup proposal yang hanya di bolak-balik saja dan meletakkannya di atas meja, kemudian melepas kaca matanya. Tanpa kacamata,  Pambagyo terlihat lebih tua. Kulit di seputar kelopak matanya tampak lebih tebal berlemak  dengan  warna kulitnya lebih gelap. Dalam dunia pewayangan Ki Sarito teringat pada tokoh Durna. Tokoh yang sepanjang hidupnya harus meletakkan kebenaran yang diyakininya dalam ruang gelap yang sangat dalam karena ia lebih memilih memegang teguh janji setia pada seorang pangeran yang pernah menolong keluarganya. Pangeran yang kemudian menjadi  penguasa yang serakah dan keras kepala,  Raja Duryudana dari Astina.

Durna meskipun sebagai  Maharesi dengan ketinggian kemampuan olah kanuragan dan pandangan spiritualnya tidak pernah secara tuntas membimbing  Duryudana dan adik-adiknya agar menjadi ksatria yang lebih sakti dibandingkan Pandawa. Durna menyimpan kengerian karena merasa tidak mampu menghalau pikiran jahat dan haus kekuasaan dari Duryudana dan adik-adiknya yang terus menerus dihembuskan oleh Sangkuni.

Ki Sarito  segera  menghalau pikiran mempersamakan Pambagyo dengan Durna. Bagaimanapun juga ia punya kepentingan pada Pambagyo.

“Tentu saja masih ingat, Mas Sarito.”

Ki Sarito mulai merasa mendapat angin. Mungkin dengan menceritakan masa lalu mereka di sekolah,  arah pembicaraan dapat dikendalikan. Dan tentu saja yang paling diharapkan,  Pambagyo menyetujui proposalnya.  Hawa dingin dari ruangan ber-AC mulai dirasakan merambati kulitnya seiring dengan harapan yang mulai dapat diraba.

Waktu  sekolah Pambagyo termasuk anak yang paling pintar. Terutama pada pelajaran Matematika dan Fisika yang selalu menjadi momok sebagian besar siswa. Kadang Sarito merasa iri pada Pambagyo yang dengan begitu mudahnya menguasai dua pelajaran tersebut. Sementara ia harus mati-matian berusaha menguasainya, tetapi sebagaian besar gagal. Di hadapan dua pelajaran tersebut otaknya seperti terkunci mati.

“Mas Sarito paling tidak suka pelajaran Fisika dan Matematika, kan?”

Ledekan Pambagyo seketika membuat suasana menjadi segar dan cair. Ki Sarito mulai merasa nyaman untuk mengendap-endap dalam bayangan kekuasaan yang digenggam Pambagyo. Kekuasaan yang secara kasat mata telah disaksikannya dari mobil mewah yang berplat merah, ruang kerja yang luas,  ber-AC dan harum. Belum lagi anak buah yang selalu tunduk dan tergopoh-gopoh jika disuruh ke dalam ruangan untuk menyampaikan laporan.

Ya, level Kepala Dinas tentulah sangat tinggi di kota kecil yang sebagaian besar penduduknya mengidamkan menjadi pegawai negeri.

Sebelum rencana mengajukan proposal, sebenarnya ada niatan untuk sekadar berhutang saja secara pribadi pada Pambagyo. Uang limabelas juta untuk membayar kuliah dua anaknya dan beberapa  penabuh gamelan yang mulai kehabisan uang karena sepinya pagelaran wayang, tentu bukan jumlah yang besar untuk ukuran Pambagyo.

Tetapi Ki Sarito merasa sungkan kalau harus berhutang, ia merasa malu di hadapan Pambagyo atas ketidakberdayaannya mencukupi kebutuhan anak dan memenuhi keinginan anak buahnya. Hutang dapat menurunkan harga dirinya.

Ide membuat proposal kerjasama itu muncul. Giarto, anak pertamanya yang merumuskannya. Dalam proposal itu terkandung misi suci, menyelamatkan wayang sebagai hasil budaya dan peradaban Jawa yang tinggi. Dengannya misi memenuhi kebutuhan juga terpenuhi. Proposal itu tidak sedikitpun menurunkan harga diri.

“Ah, Mas Bagyo tahu saja. Tapi Mas Bagyo paling tidak suka pelajaran Seni kan?”

Setelah itu suasana diantara keduanya sudah mulai tidak berjarak. Cukup lama mereka berdua berbagi nostalgia. Ki Sarito mulai mengatur alur agar di ujung sendau gurau dan gelak tawa ada persetujuan atas proposal yang diajukannya.

Ketika Pambagyo memegang proposal itu lagi, membolak-balik halamannya lagi hati Ki Sarito mulai sumringah. Pambagyo menutup proposal itu, memandangi gambar Yudhistira di sampulnya.

“Satu-satunya nilai merah kudapatkan dari Pak Yudhistira, guru Seni Rupa kita”.

Pambagyo meletakkan proposal di atas meja dan memberikan tanda silang di sampulnya. Tepat di wajah Yudhistira. Matanya seperti menerawang kembali ke masa sekolah yang baru saja dicandatawakan dengan sumringah.

*****

        Suasana langsung membeku. Ki Sarito hanya bisa menebak-nebak kalau Pambagyo menggali kembali kuburan dendamnya. Di sana tersimpan trauma pada satu nilai merah yang mencemari seluruh nilai di rapotnya. Sebagai salah satu anak yang paling pintar di sekolah mungkin satu nilai merah saja telah cukup menjadi aib yang besar sehingga layak untuk disimpan sebagai dendam. Gambar Yudhistira justru menjadi kartu matinya. Yudhistira tokoh yang dipujanya tetapi Yudhistira yang lain adalah trauma bagi temannya. Ki Sarito mulai ciut nyali untk berani meyakini kalau proposalnya  akan disetujui.

Pambagyo masuk ke ruang kerja pribadinya kemudian keluar dengan setumpuk map. Tumpukan map itu kemudian diletakkan di atas proposalnya. Dada Ki Sarito terasa sangat sesak, menangkap gelagat nasib proposalnya akan terjerembab di ruang gelap, tak akan dilihat.

“Proposal-proposal ini juga tawaran kerjasama seperti proposal Mas Sarito juga. Tapi saya tidak bisa menyetujui karena sudah terlambat untuk dimasukkan dalam anggaran perubahan.”

Kemudian Pambagyo menjelaskan beberapa kegiatan kerja yang berkaitan dengan jabatannya. Juga menyebut istilah-istilah yang sama sekali tak dipahaminya. Semakin banyak yang dia katakan semakin jauh pula harapan proposalnya akan dikabulkan. Intinya, Pambagyo tidak menyetujui proposalnya karena tidak ada anggaran dan adanya kegiatan lain yang lebih penting untuk diberi anggaran.

Ruangan yang semula terasa dingin dan wangi berubah menjadi pengap karena dadanya semakin sesak. Tak ada celah untuk menjelaskan pentingnya tujuan  proposal itu. Dengan jabatan yang disandangnya, tentu mudah bagi Pambagyo untuk menyadari dan menentukan sikap adanya kenyataan banyak unsur-unsur budaya yang mulai luntur dan akan menghilang dari masyarakatnya, salah satunya wayang.

Ki Sarito juga tak habis mengerti untuk apa jabatan disandang jika masalah-masalah yang dapat diselesaikan tetapi dibiarkan begitu saja.

Ditutup dengan sedikit basa-basi, Ki Sarito pamitan. Misinya gagal. Terbayang wajah isterinya, dua anaknya yang sedang kuliah dan para penabuh gamelan yang menunggu uluran tangannya, sekadar memberikan pinjaman uang. Lututnya terasa gemetar dan memaksa tubuhnya terduduk di kursi tamu.

“Lina, singkirkan proposal-proposal yang bertanda silang”. Samar terdengar suara Pambagyo di dalam ruangan.

Suara yang menjadi cambuk dan memaksa Ki Sarito untuk tidak berlama-lama lagi di dalam kantor itu. Seorang perempuan yang mungkin bernama Lina, keluar  membawa setmpuk proposal yang sudah diikat dengan tali rafia. Ki Sarito mengikutinya hingga sampai di sebuah gudang.

*****

         “Maaf, proposal yang bergambar wayang itu boleh saya minta lagi?”

“Ooh…silahkan, Pak”.

Perempuan itu membuka tali pengikat tumpukan proposal dan mempersilakan Ki Sarito untuk menemukan proposalnya sendiri. Dari proposal yang paling atas hingga proposal milik Ki Sarito memang semua bertanda silang, tanda proposal itu tidak disetujui.   Ki Sarito terkejut karena proposal yang dibawahnya tidak bertanda silang, tetapi bertanda bintang.

“Bu, proposal ini kan bertanda bintang. Kok ikut ditaruh di sini?”

Spontan Ki Sarito mengambil proposal itu dan memberikannya pada Lina. Tiba-tiba sebuah amplop terjatuh dan tanpa sengaja isinnya berhamburan. Beberapa lembar uang berwarna merah. Wajah Lina seketika memucat dan segera memasukkan kembali uang itu ke dalam amplop dan menyelipkannya ke dalam proposal. Lina segera bergegas menumpuk proposal-proposal lainnya dengan kertas-kertas bekas di dalam gudang. Tanpa sepatah katapun ia meninggalkan Ki Sarito dan membawa proposal bertanda bintang.

Ki Sarito termangu, mengendapkan semua tanda-tanda yang mungkin dapat ditafsirkan. Proposal bertanda silang, proposal bertanda bintang dan amplop berisi uang di dalamnya.

Samar-samar wajah Durna muncul lagi berganti-ganti dengan wajah Pambagyo. Wajah-wajah orang yang ditemui dikantor itu mulai terlihat seperti barisan para Kurawa dan sekongkolnya.  Kepalanya terasa berdenyut dipenuhi pertanyaan pada kejadian-kejadian yang tak mampu dipahaminya hari ini. Rasanya seperti melayang-layang di dunia yang berbeda. Bergegas kakinya menyeberangi jalan dan menuju ke sebuah warung kopi. Mungkin dari secangkir kopi ia akan menemukan kesadaran diri.

*****

Wangi aroma kopi membuyarkan pengap yang membekap hati dan pikiran. Di sruputan pertama, kakinya sudah terasa kembali menginjak bumi. Sambil memejamkan mata ia berusaha merumuskan kembali makna teman, antara dirinya dengan Pambagyo. Tidakkah pertemanan ini dapat memudahkan sebuah urusan ? Apa yang menjadi penghalang ? Uangkah penghalang itu ?

Gambar wayang Yudhistira  ditatapnya dengan lekat. Penolakan hari ini mengingatkan pada kisah ketika Yudhistira terusir dari Astina setelah kalah berjudi dan harus mengembara. Semua raja yang pernah berkarib dengan ayahnya disinggahi untuk sekadar berbelas kasihan memberi tempat bersembunyi. Ia tidak merelakan kalau isteri dan adik-adiknya sengsara terlunta-lunta. Tetapi tak ada seorang rajapun yang bersedia memberikan uluran tangan meskipun mereka sebenarnya merasa belas kasihan.

Penolakan demi penolakan terasa sama beratnya dengan kekalahan yang dialami saat berjudi. Hingga  akhirnya Yudhistira sampai di negeri Wiratha dan Raja Matswapati bersedia menerimanya dalam penyamaran sebagai perawat kuda dan kandangnya. Bagi Ki Sarito, siapa sekarang yang akan menjadi Matswapatinya ? Yang merengkuhnya dari kesulitan yang menimpa saat ini.

Kopi di cangkir tinggal ampas di dasarnya saja. Belum muncul sepotong ide pun untuk menyelesaikan masalah keuangan yang menimpanya. Satu persatu wajah isteri, dua anaknya dan para penabuh gamelan ikut berkubang dalam ampas di dasar cangkir. Dalam seruputan terakhir, pahitnya kopi lebih terasa. proposal yang dirancang dengan teliti, bermuatan filosofi dan penuh arti seperti kumpulan kata dengan konsonan semua. Tak terucapkan, mati.

Blora, 6 September 2018

 

Penulis   : Tri Martana, SS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close