Juang Merdeka Jateng – “Cek ini sebagai uang muka jika Ki Sugiran mau memerankan Bima sesuai karakter yang diinginkan Juragan Seno.”
Isman ketua tim kampanye pemenangan juragan Seno meletakkan cek sebagai uang muka jika Ki Sugiran bersedia dikontrak untuk lima kali pagelaran wayang. Ki Sugiran menarik nafas dalam-dalam. Dadanya bergemuruh. Sesekali melirik Isman. Sesekali melirik cek bertuliskan angka dua…dengan delapan nol di belakangnya. Juga melirik raut wajah isterinya yang terlihat cemas. Cemas jika peluang itu lewat begitu saja.
Juragan Seno menghendaki Bima diperankan dengan karakter baru. Jauh di luar kemampuan fantasi dan nalarnya sebagai seorang dalang. Selama Ki Sugiran menjadi dalang memang sering membawakan lakon hasil fantasi dan kreasinya sendiri, misal Cakil Menggugat, Gareng Melamar Bidadari dan Bagong Menjadi Koki Istana.
Bahkan pada pagelaran yang penontonnya mempunyai kadar intelektual sedikit lebih tinggi, ia juga sanggup menyelipkan pesan-pesan spiritual dari karya sastra kekinian seperti Selilit Sang Kyai, Sepotong Kayu Untuk Tuhan ataupun Ular di Mangkuk Nabi.
Tapi melakonkan Bima sesopan Arjuna, penuh tata karma layaknya Yudhistira atau lihai berbasa-basi seperti Krisna tentu sangat berbeda. Ini akan menjadi pembunuhan karakter Bima. Juga akan memengaruhi seluruh cara pandang Bima terhadap wayang lainnya. Maka seluruh jalinan cerita bisa porak poranda.
“Karakter itu akan merusak jati diri yang paling otentik dari Bima. Bima identik dengan pembelaan pada kebenaran dengan pernyataan lugas, tegas dan tanpa tedeng aling-aling. Bima tidak akan sanggup memproduksi kata-kata manis berbalut tipu muslihat apalagi memelintir dan membelokkkannya untuk menyembunyikan kepentingan pribadinya. Sebaiknya Juragan Seno memilih karakter lain dan mungkin tema lain dalam kampanye pemilihan nanti,” kata Ki Sugiran sambil melirik isterinya yang seketika itu wajahnya memucat seperti kapas, membaca gelagat uang itu akan lepas.
Bersungut isterinya beranjak pergi. Meninggalkan Isman dan Ki Sugiran dalam suasana beku di ruang tamu, membisu dalam negosiasi yang beku.
“Selama ini Juragan Seno dikenal masyarakat sebagai pribadi keras, tegas dan mungkin sedikit kasar seperti Bima. Ini bisa menjadi celah bagi calon lainnya untuk menjatuhkan beliau. Juragan Seno butuh mencitrakan diri dengan karakter sopan, lembut dan tatakrama yang tinggi untuk melebarkan segmentasi calon pemilihnya,” kata Isman berapi-api.
Isman menunjukkan beberapa contoh poster kampanye juragan Seno dalam balutan peci dan baju takwa berwarna putih. Ada poster lainnya dengan kostum Jawa, petani dan olah raga. Bahkan ada juga poster juragan Seno mencium kening seorang anak bertubuh kurus kering. Poster-poster humanis untuk melebarkan segmentasi pemilihnya.
Lama mereka terdiam. Isman mengetukkan jemarinya di pegangan kursi. Membaca situasi dan berhitung dengan peluangnya dalam bernegosiasi.
Ki Sugiran hanya sanggup berdiam, sebagai dalang yang fasih bicara, semua kata-katanya seperti yerpenjara. Beralih menatap langit-langit. Di langit-langit, ia bertemu dengan bayangan Bima dan wajah isterinya.
Siapa yang akan ditumbalkan dalam peristiwa ini ? Ujung negosiasi, hanya menghasilkan tanda tanya. Memilih salah satu dari keduanya akan sama saja baginya, tikaman bagi dirinya. Dan mata Ki Sugiran makin lama terpejam. Tikaman itu akan segera mengenainya, karena ada yang harus dipilihnya.
“Mungkin jangan dijawab sekarang. Ada baiknya Ki Sugiran memikirkannya lagi. Ini nomor HP saya dan cek ini boleh Ki Sugiran bawa dulu. Jika Ki Sugiran menyetujui tolong saya di SMS. Dua ratus juta sisanya akan dibayarkan setelah pagelaran kelima nanti.’’ Isman segera pamit meninggalkan Ki Sugiran yang termangu seorang diri.
Isterinya keluar dari kamar dengan dua amplop berisi tagihan biaya kuliah dua anak mereka. Juga menyodorkan HP dengan SMS para penabuh gamelan yang berharap dipinjami uang. Belum lagi tunggakan biaya sound system yang belum terbayar.
Lima belas menit kemudian, “Isman, aku terima kontraknya”. Ki Sugiran mengulang dua kali SMSnya. Meyakinkan isterinya bahwa ia telah memenuhi keinginannya.
Dengan sigap Isman membuka SMS dan membacanya. Dengan sigap menelpon Juragan Seno dan dikatakan kepadanya Ki Sugiran bersedia di bayar lima ratus juta untuk lima kali pagelaran wayang. Dan yang paling sigap segera mengirimkan seratus juta ke rekening isterinya karena nyatanya kontrak dengan Ki Sugiran hanya empat ratus juta.
Diperhatikannya poster-poster juragan Seno yang terpasang di sepanjang jalan. Poster juragan Seno dengan sikap ngapurancangnya terasa sah ditahbiskan melalui kontrak yang disetujui Ki Sugiran.
Sambil bersandar di jok mobil yang empuk dan nyaman, ia sembunyikan dua kemenangannya di tempat yang tak mungkin dijangkau siapapun juga. Menaikkan citra juragannya dan melipat seratus juta dari kontrak yang seharusnya.
***
Ki Sugiran menatap Bima yang gagah dengan tubuh menjulang tinggi melebihi wayang-wayang lainnya. Bima tumbuh menjadi kuat bersama dengan watak yang lugas dan tegas. Kesetiaan pada kebenaran yang ditemukan lewat perjalanan hidupnya yang getir terukir seperti satu sisi mata uang. Bersanding dengan kelugasan dan ketegasannya di sisi lainnya.
Ketika kelugasannya hendak diganti dengan sikap santun, bertatakrama tinggi dan penuh basa-basi maka sisi yang lainnya akan rusak pula.
“Entahlah… Toh semua pagelaran hanyalah simbolik. Tapi biaya kuliah dan nasib periuk nasi anak buahku adalah permasalahan yang harus kuselesaikan.” Ki Sugiran menghela nafas panjang, menyerah. Ia telah memilih meninggalkan pakeliran lamanya sebagai dalang sejati dengan melangkahkan kaki di pagelaran kenyataan hidup yang baru.
Ya, sekarang ia harus berperan menjadi wayang juragan Seno. Dan lima kali pagelaran kedepan bukan lagi pagelarannya. Dan wayang-wayang itu tak lagi dalam kuasanya. Ia harus pandai membangun citra politik yang dipesan juragan Seno dalam balutan pagelaran wayang.
Dalam pencitraan, seringkali niat busuk dapat disepuh dengan bahasa indah yang muluk-muluk . Dan rencana jahat yang sadis dilumuri dengan janji manis. Sulit membedakan mana yang baik secara otentik dan mana yang palsu. Maka entah berapa ribu orang yang akan terpedaya olehnya. Untuk itu Bima yang dijadikan tumbalnya.
Poster pagelaran mulai di pasang. Ki Sugiran dengan kiprah dan pengaruhnya yang luas dan kuat di masyarakat akan menjadi magnet bagi juragan Seno untuk meraup dukungan pemilih. Sebuah baliho besar bertuliskan ”Saksikan pagelaran wayang dengan lakon Bima mencari air Purwitasari bersama Ki Dalang Sugiran”. Dan tentu saja di poster itu tampak Ki Sugiran, juragan Seno dan Isman bersanding dengan senyumnya masing-masing.
Dalam poster itu Isman berdiri paling kiri, sedikit melirik Ki Sugiran dan juragan Seno. Hmm… Siapa dalangnya ? Siapa wayangnya ?
***
Saat pagelaran tiba penonton mebeludak. Isman puas karena strategi pengumpulan massa berhasil. Kini bergantung pada Ki Sugiran untuk mampu menghanyutkan kesadaran penonton agar berlabuh pada satu nama dalam pemilihan nanti, juragan Seno.
Ki Sugiran menyalakan blencong dan merapal japa mantra. Terpancar warna temaram yang sakral pada pakeliran. Pakeliran tempat semua wayang beradu peran dalam jalinan cerita yang dirangkaikan Ki Sugiran.
Gendhing Talu Wayangan sahdu membuka pagelaran wayang. Ketika Ki Sugiran hendak memulai pagelaran, tiba-tiba semua lampu padam. Api di blencong padam. Asap hitam bergulung-gulung menyembur dari moncong blencong menyelimuti pakeliran, menitiskan nafas kehidupan pada semua wayang.
Satu persatu wayang mendenyutkan urat-urat kehidupan. Mulai mengerdipkan mata, menggerak-gerakkan tangan serta menemukan nafas kehidupannya sendiri. Japa mantra Ki Sugiran luluh lantak. Ribuan kata berhamburan. Satu persatu terpaku membatu di dalam otaknya, merangkai cerita dan mengendalikan alur ceritanya.Lidahnya kaku, kecuali untuk mendedahkan alur cerita itu.
Aura kelam menyelimuti pakeliran. Menghisap sampai lenyap kesadaran Ki Sugiran, para pesinden, dan penabuh gamelan. Mereka tak ubahnya seonggok kulit kering dan tulang yang lumpuh membisu. Kuasa di pakleliran dan kuasa atas wayang telah dipersembahkan. Pada cek dengan deretan delapan nol dibelakangnya.
Bima muncul dengan karakter baru. Ia tidak lagi lugas dan tegas tetapi penuh kesantunan, berbelit-belit dan penuh basa-basi. Keberpihakannya pada kebenaran terlilit berlapis-lapis segala kepalsuan hingga tak mampu tumbuh menunjukkan benih-benih kehadirannya.
Secara naluri ia kemudian lebih memilih bergumul dengan akal bulus dan kelicikan Sangkuni dan tak berhasrat lagi memburu petuah suci mahagurunya, Dewa Ruci.
Atas nasihat Sengkuni pula Bima bersekutu dengan Rukmuka dan Rukmakala dari gunung Reksamuka. Dua raksasa yang seharusnya dibunuh dalam perjalanan memburu keberadaan air Purwitasari. Mereka bertiga mengeringkan samudra tempat Dewa Ruci bertahta dan merampas air Purwitasari.
Cahaya kemuliaan yang terpancar dalam butir-butir sabda Dewa Ruci tak lagi memesonakannya karena ia lebih memilih mengejar bayangan hitamnya sendiri mengarungi kesenangan duniawi.
“Aku tidak butuh air Purwitasari ini !’’ teriak Bima dengan lantang setelah sedikit mereguknya. Guci yang berisi air keramat itu terhempas keras ke pakeliran. Pakeliran terkoyak menjadi lubang hitam. Segala hawa jahat keluar menyeruak dari sisi gelap dan menyekap alam sadar semua yang hadir di pagelaran.
Tak ada satupun yang mampu keluar dari lubang itu untuk menemukan kesadarannya lagi.
Yudhistira kakaknya Bima, menatap Ki Sugiran dengan sorot mata dendam. Ia marah dengan ketakberdayaan Ki Sugiran. Kemudian mengeluarkan gulungan kulit yang mengeluarkan aura biru dan menyelimutkan pada beberapa ksatria dari trah Bharata.
Mereka melesat terbang, menembus lubang pakeliran yang telah terkoyak, keluar dari pagelaran yang hanya mementaskan kepalsuan.
Bima dan dua teman raksasanya lebih memilih guci berisi ciu. Bertiga mabuk sambil menggoda para pesinden yang menjelma menjadi biduan dengan senandung centil dan busananya yang terbuka.
Penontonpun bersorak sorai melihat keliaran Bima. Sambil membenarkan keliaran mata mereka, memelototi biduan yang sedang bergoyang di pakeliran yang tak lagi suci.
Kampanye juragan Seno dalam balutan pagelaran wayang menjadi lubang hitam yang mampu menyedot penonton dalam kegembiraan. Membius mereka sehingga tidak mampu menyingkap tabir kepalsuan dibalik pesan mulia yang telah terbeli oleh uang dan kekuasaan.
Mereka terlelap didalamnya sehingga selalu datang, datang dan datang lagi. Wajah-wajah sumringah berduyun-duyun memenuhi di setiap pagelaran untuk sekadar dijadikan anak tangga bagi juragan Seno dalam meraih kekuasaan.
Ki Sugiran hanya diam tak berdaya sementara juragan Seno semakin menggebu-gebu menghitung peluang kemenangannya .
***
Pagelaran ke lima telah usai, kontrak dengan juragan Seno putus.
Diujung malam, pagi mulai merambat. Ia ingin segera menemukan mataharinya yang hilang sebelum matahari sesungguhnya muncul dari ufuk timur.
Hembusan angin dingin terasa menembus kulit hingga membuat tubuhnya menggigil. Separuh kesadarannya ingin kembali pada dunianya yang lama, separuh lagi sedang mabuk terbuai bersama uang dua ratus juta di dalam tas yang didekapnya erat-erat. Haru biru kampanye yang membekap Ki Sugiran dalam goa pengap kepalsuan membuatnya menjadi kedap dari nilai-nilai kemuliaan yang seharusnya bertebaran disepanjang pagelaran wayang.
Sesaat ia ingin memulangkan kharismanya sebagai dalang yang telah dicabik-cabiknya sendiri. Kharisma yang telah ditumbalkan untuk jargon-jargon kampanye juragan Seno. Tetapi betotan uang dalam tas yang didekap erat itu jauh makin kuat, akhirnya sanggup membayar lunas kharismanya itu.
“Dik…, aku pulang”. Ki Sugiran mengetuk pintu membangunkan isterinya yang masih terlelap. Cukup lama menunggu tetapi tak ada reaksi sama sekali.
Sambil menunggu ia merebahkan tubuhnya yang lelah di dipan bambu di teras rumah. Berharap isterinya segera membuka pintu dan menghidangkan secangkir kopi. Dan ia akan segera melabuhkan kebahagiaan dan kebanggaan sebagai suami dengan segepok uang ditangan.
Setengah tidur setengah terjaga, samar terdengar alunan suara membuyarkan kantuknya yang sejengkal lagi menghisapnya dalam tidur yang lelap. Dari ruang latihan karawitan, terdengar suara gamelan yang ditabuh mengiringi tembang Maskumambang dan Megatruh. Tembang kesedihan dan kematian.
Ki Sugiran bergegas menuju ruang latihan, tak lupa tas yang berisi uang dua ratus juta didekapnya dengan erat.
“Gila…siapa yang menabuh gamelan sepagi ini?” Ki Sugiran menendang pintu ruang latihan.
Di bawah temaram nyala api blencong ia mengawasi sosok-sosok yang sedang menabuh gamelan. Ia seperti mengenali wajah-wajah itu dari lorong masa lalu yang sangat jauh .
Mengetahui kehadiran Ki Sugiran, semua penabuh berhenti. Hanya penabuh gambang yang masih tak menghiraukan dan terus melanjutkan Megatruh dengan khidmadnya.
Dihampirinya penabuh gambang itu. Ki Sugiran terkesiap kaget setengah mati melihat wajah itu. Tubuhnya terhuyung membentur kotak tempat penyimpanan wayang dan jatuh terduduk dengan wajah kaku membeku.
Wajah itu adalah wajah wayang idolanya, Yudhistira kakak dari Bima. Satu persatu penabuh lainnya mulai dikenalnya. Mereka adalah Bisma, Arjuna, Srikandi, Gathutkaca, Abhimnyu dan Karna. Para kesatria perkasa dari trah Bharata.
“Bagaimana mereka bisa mewujud menjadi manusia?” Rasa takut mulai merayapi hatinya.
Ia merasa terhempas tak berdaya ke padang Kurusetra yang bergemuruh dengan jeritan-jeritan kematian perang Bharatayudha.
Yudhistira berdiri menghampirinya. Ada guratan marah pada wajah tokoh yang menjadi cerminan lautan kesabaran itu. Tangan kirinya memegang sebuah gulungan kulit yang memancarkan aura biru. Tangan kanannya memegang sebilah tombak.
“Buka gulungan ini, kau pasti tahu isinya !” Yudhistira menyerahkan gulungan pada Ki Sugiran.
”Ini adalah…ini adalah pusaka Jamus Kalimasada,” tangan Ki Sugiran gemetar memegang gulungan itu. Pusaka Jamus Kalimasada termasuk pusaka sakti yang paling ampuh dan ditakuti. Menandingi keampuhan senjata Cakra milik Krisna.
Jamus Kalimasadha menyiratkan makna meneguhkan diri pada jalan suci kebenaran. Jalan yang seharusnya diikuti semua dalang.
“Di pakeliran Aku adalah ayat dan simbul kebenaran maka padakulah pusaka sakti ini diturunkan. Adikku Bima adalah alat untuk meneguhkan dan menegakkan kebenaran yang ada padaku. Maka ia harus mewujud dalam watak yang lugas tanpa basa-basi. Kebenaran tidak boleh merendah pada siapapun. Dan kau telah memenjarakannya di pakeliran hidupmu demi uang dan kekuasaan. Inilah hukumanmu!” Yudhistira mengangkat tombak yang ujungnya masih ada bercak darah.
Bercak darah para pengkhianat dari Kurawa yang sejak dari awal memang selalu ingin menyulut perang Bharatayudha.
Tangan Ki Sugiran berusaha menepisnya, tapi sia-sia. Tombak menghunjam tepat menusuk ulu hatinya.
Mata Ki Sugiran terpejam, pasrah. Ia siap menyongsong karma karena menumbalkan Bima. Ia merasa memasuki lorong gelap yang panjang, mungkin lorong kematian.
Tetapi aneh, tak ada rasa perih di dadanya. Tak ada luka dan tak ada darah setetespun. Hanya hawa dingin seperti membekukan hatinya.
“Kau tidak akan mati seperti Sangkuni dan Kurawa lainnya, tetapi kemuliaanmu sebagai dalang akan hilang. Kau tak akan menemukannya lagi di pakeliran hidupmu !” Yudistira mencabut tombak yang menghunjam di ulu hati Ki Sugiran.
Kemudian lenyap bersama para ksatria trah Bharata lainnya. Membawa Bima yang pucat seperti mayat.
Bersamaan dengan itu aura biru keluar dari semua wayang, gamelan dan peralatan lainnya. Ruangan seketika bergemuruh dan bergetar keras ketika aura-aura itu berebut keluar menerobos melewati sela-sela dinding, atap, pintu dan candela.
Jamus Kalimasada ditangan Ki Sugiran lepas melayang-layang di dalam ruangan. Sekujur tubuh Ki Sugiran menggigil dalam beku. Hawa hangat seperti keluar dari seluruh pori-pori yang ada di kulitnya, terhisap aura biru jamus Kalimasadha yang kemudian lenyap seketika.
Pada saat yang sama, uang dalam tas Ki Sugiran berhamburan. Ki Sugiran pontang-panting memilih menangkap lembar demi lembar uang hingga menabrak gamelan-gamelan dan wayang di pakeliran yang biasanya tertata rapi.
Ruang latihan porak poranda. Jamus Kalimasada lenyap bersama segumpal asap putih yang menembus dinding meninggalkan lubang yang menganga.
Ki Sugiran sama sekali tidak berusaha menggapainya. Ki Sugiran jatuh tertelungkup tak berdaya. Lebih memilih memeluk lembaran-lembaran uang yang berhasil diraihnya.
”Ini…milikku!”
Tri Martana, Blora, Januari 2015