Juang Merdeka Jateng – Tak ada yang peduli, seperti itulah biasanya. Cuma masalah sepele, pemukulan tiang listrik oleh para peronda. Siapa memang yang akan memperhatikan jumlah pukulan ke tiang listrik ? Siapa yang akan memperhatikan tiang listrik mana yang akan dipukjul ? Siapa pula yang memperhatikan siapa yang malam itu bertugas memukul tiang-tiang listrik di RW ini ? Apalagi sampai memperhatikan apakah tiang-tiang listrik itu dipukul tepat waktu atau tidak ? Orang satu RW sudah pada mahfum kalau semalam tiang-tiang listrik itu dipukul dua kali yaitu jam duabelas dan jam tiga.
“Tadi jam tiga, sepertinya tiang listrik depan rumahku tidak dipukul,” ujar Masngud sambil menuang kopi ke lepek. Kang Waji yang sedang mengaduk kopi untuk pelangganya hanya tersenyum tanpa menanggapi. Timan, Jani dan Rustam yang sedang menunggu kopi juga tidak ada ada yang menanggapi. Rustam sibuk memilih pisang goreng yang masih hangat, membanding-baningkan ukurannya. Timan sibuk menyalakan korek gasnya yang macet. Jani menyodorkan korek apinya tapi Timan tetap saja berusaha keras menyalakan korek gasnya. Mungkin saking kerasnya itulah akhirnya korek apinya terpelanting.
Masngud tersenyum kecut melihat kelakuan Timan. Senyum itu sempat tertangkap mata Timan dan spontan mukanya memerah. Korek gas Timan yang terpelanting ternyata lepas bagian pemantiknya tetapi ia tetap bersikeras memperbaikinya. Senyum kecut di muka Masngud makin menjadi-jadi. Dan Timan makin memendam kesal di hati. Akhirnya Timan menyerah, korek gasnya tak mungkin di perbaiki. Segera korek api Jani diraihnya tetapi Masngud malah mendahuluinya. Tatapan mata keduanya beradu. Percikan pertikaian sepertinya mulai tersulut saat itu. Masngud mengepulkan asap rokoknya memenuhi ruangan di warung kopi kecil Kang Waji itu. Selera merokok Timan hilang seketika. Tapi ia tidak mau sindiran Masngud berlanjut dan membuatnya terus tersudut.
Timan yakin sindiran Masngud dengan mengatakan tiang listrik di depan rumahnya tidak di pukul jam tiga tadi ditujukan kepada dirinya. Masngud sebenarnya ingin menyalahkan kenapa semalam ia tidak ikut ronda. Sayangnya sindiran Masngud itu benar. Tapi tetap saja keterlaluan karena sebenarnya banyakjuga yang pernah melakuakn yang sama, termasuk Masngud juga pastinya. Apalagi jika sudah menyangkut orang-orang kaya, berada dan penting semua akan memakluminya dengan besar hati dan sukarela.
Orang satu RW misalnya akan menyadari kalau pak Hermawan, bos Lucky , tuan Heri dan Kolonel Fadli hampir tidak pernah ikut ronda. Pak Hermawan sering ke luar negeri menangani usaha ekspor impornya. Bos Lucky selalu berpindah kota karena punya toko di mana-mana. Tuan Heri lebih sering di Jakarta karena seorang pejabat tinggi. Apalagi Kolonel Fadli medan tugasnya terbentang dari Merauke hingga Sabang. Dan mereka menyewa pengganti oarangyang paling rajin di RW ini, kang Juki. Seminggu kang Juki bisa bertugas sebagai pengganti sampai tiga kali.
“Kasihan kalau semua mengandalkan Kang Juki, dia bukan budak.” Masngud menyipitkan matanya untuk menunjukkan ekspresi penuh empati. Dan memperkuatnya dengan menggeleng-gelengkan kepala. Bagi Timan, ekspresi wajah Masngud itu palsu, dusta dan penuh kepura-puraan. Terasa itu bukan lagi sindiran tetapi sudah menjadi intimidasi untuk menjatuhkan nama baiknya. Ancaman untuk menjatuhkan harga dirinya.
Tapi keadaan tidak berpihak pada Timan, nyatanya ia memang tidak meronda tadi malam. Apapun alasan yang didalihkannya akan sia-sia. Hanya akan dianggap orang seisi warung sebagai alibi kosong untuk sekadar menutupi sebuah kebohongan. Semua orang mahfum kebohongan biasanya akan ditutup dengan kebohongan baru sehingga topeng kebohongan semakin tebal.
Satu-satunya cara adalah diam. Menerima setiap ekspresi Masngud sebagai intimidasi terhadap harga dirinya. Bahkan setiap hembusan asap rokok dari mulut Masngud terasa seperti teluh yang dikirim untuk membekukan jantungnya.
Akhirnya Timan sudah tidak kuasa lagi menahaan ketertekanan dan beranjak meninggalkan warung. Terdengar gelak tawa puas Masngud bahkan sebelum sepuluh langkah Timan meninggalkan warung kang Waji. Pikirannya buntu tersumbat kemarahan yang tertahan. Diambilnya batu dan dilemparnya sebuah tiang listrik dekat tempat menyandarkan sepedanya.
“Thangngng !”
Seisi warung kang Waji keluar dan gelak tawa makin membahana. Timan tahu betul bahwa setelah ini seisi warung akan menjadikannya sebagai bahan gunjingan dan olok-olokan. Semua akan membongkar aibnya dengan mulut berbusa-busa. Dan Masngud menikmati posisinya sebagai pendulum arah bicara dan menjadi bintang panggung di warung yang paling bersinar cemerlang.
*****
Timan mengayuh sepedanya membawa segumpal dendam sambil meratapi harga dirinya yang terajam-rajam. Kemarahan mulai terpercik dan berkelindan dengan dendam. Apa yang membuatnya kesal adalah bahwa kenyataannya ia memang tidak ikut ronda sehingga intimidasi Masngud di warung tadi menyebabkan mati kutu.
Ia tak mampu membela diri. Tetapi yang membuatnya geram adalah ia juga yakin Masngud pasti pernah tidak meronda juga. Sindirannya tadi hanya lagak sok suci. Seakan-akan ia tidak pernah membolos dari tugas ronda juga. Maka satu-satunya pelampiasan yang dapat meringankan sesknya intimidasi Masngud adalah menemui Kang Juki. Mencari tahu penyebab kenapa tadi malam ia tidak berangkat ronda. Bisa jadi pada kang Juki nanti ia ganti memberikan initimidasi sekadar mengurangi rasa muak yang menyesakkan dadanya.
“Saya berangkat ronda, menggantikan Pak Hermawan !” Kang Juki membela diri ketika Timan menyakan kemana semalam sehingga tidak meronda. Timan terlihat ragu dengan penjelasan kang Juki.
“Tanya saja Saipul sama Yono kalau tidak percaya.” Kata Kang Juki sambil membabat ujung pohon jambu di depan rumahnya yang terlalu menjulur ke jalan raya.
Sia-sia Timan yang sebenarnya tidak terlalu ingin menyangkal kang Juki. Kang Juki dikenal sebagai orang yang sangat perasa, sedikit rendah diri, penakut tetapi kelebihannya ringan tangan sehingga mau diperintah dan dimintai tolong apa saja. Tetapi sebagian orang sengaja memperalat sifat baik Kang Juki engan semena-mena. Mereka suka main suruh tanpa memberi imbalan apa-apa bahkan berterimakasihpun tidak.
“Lantas kenapa tiang listrik dekat rumah Masngud tidak kamu pukul, Kang ?”
Kang Juki hanya diam.
“Kenapa Kang ?”
Kang Juki tetap diam. Timan sebenarnya bisa saja terus menekan Kang Juki sampai mau menjelaskan alasannya. Tetapi Timan merasa tidak enak hati karena ia juga sering meminta tolong pada kang Juki menggantikan ronda. Tetapi sekarang masalahnya agak jelas dan mungkin lebih ringan. Hanya mencari tahu kenapa tiang listrik dekat rumah Masngud tidak dipukul Kang Juki.
*****
“Ada apa dengan tiang listrik itu ?” Timan penasaran. Segera berlalu dari rumah Kang Juki. Kang Juki segera bergegas masuk rumah karena pembicaraan itu tadi sudah cukup menyiutkan nyalinya. Ia merasa sudah menimbulkan masalah. Keringat dingin membasahi kening Kang Juki pertanda rasa takut yang telah datang menghinggapi. Rasa takut makin kuat mengintimidasinya.
Timan bergegas ke tiang listrik dekat rumah Masngud. Tak ada yang aneh di tinag listrik itu. Seperti halnya tiang-tiang listrik lainnya telah penuh dengan tempelan sticker, pamlet kecil bahkan corat-coert dengan tipe ex juga ada di sana. Dari foto kampanye presiden sampai ketua pemilihan RW ada di sana. Dari pengumuman pengajian sampai informasi pentas dangdut, dari kursus muarah bahasa Inggris sampai sedot WC. Bahkan dari kode-kode asmara sampai umpatan harga BBM yang terus naik juga dapat ditemui di sana. Pokoknya tiang-tiang listrik itu telah menjadi sarana promosi gratis dengan cuma-cuma. Betapa bahagianya mereka telah mengeksploitasi tiang listrik yang tentu tidak akan pernah mengeluh dan diam saja.
“Hmm…tak ada yang aneh dengan tiang listrik ini ?” keluh Timan karena tidak menemukan jawabannya.Dipandanginya tiang listrik itu dari pangkal sampai ujung berulang-ulang, tak ada yang aneh . Yang bisa memberi petunjuk mengapa Kang Juki tidak berani memukul tiang listrik itu.
Tapi tunggu dulu, dilihatnya tempelan foto yang masih baru. Foto pencalonan seorang tokoh yang sepertinya pernah dikenalnya. Timan tertegun sejenak. Keningnya berkerut. Syaraf-syaraf kecurigaan yang tadi berada di ruang gelap seperti menemukan lubang keluar. Dan lubang keluar itu semakin banyak muncul menerawang, semakin banyak, semakin banyak dan akhirnya terang benderang. Timan mengeluarkan Hp nya, mengambil gambar foto tokoh itu. Gambar itu kemuadian dikirim ke seseorang. Memotret.
Dengan raut kemenangan Timan kembali ke warung. Itu foto Pak Prayit yang kabarnya akan mencalonkan diri, bosnya kang Juki. Dan tentu saja kang Juki yang penakut itu tidak berani memukul tiang listrik karena ada foto bosnya di sana.
“Pasti Masngud yang menempel foto itu !” Sepanjang perjalanan ke warung, Timan memikirkan cara membalas intimidasi Masngud. Setiba di warung Timan hanya diam, entah sudah sampai mana orang-orang di warung menggunjingkan dirinya. Apalagi Masngud, pasti dia sudah menguliti seluruh aibnya tanpa sisa. Semua mata tertuju pada Timan yang datang,duduk dan memilih diam seribu bahasa. Perubahan wajah Timan yang sekarang tampak sumringah membuat Masngud bergelut dengan beribu tanya. Timan tak ambil peduli.
“Sip !” Timan setengah berteriak.Kepalan tangannya dipukulkan ke meja sambil melihat tampilan di HP nya. Rasa penasaran Masngud semakin menggunung.
“Skak mat !” Timan mengetuk tampilan kirim di WA nya kemudian pergi dari warung begitu saja.
Rokok di mulut Masngud lepas begitu ada pesan di WA nya. Masngud merasa jantungnya mau lepas ketika ternyata itu dari Timan. Gemetar tangannya membuka WA seakan Hpnya mau lepas dari tangannya. Pengunjung warung segera berkerumun di belakang Masngud ingin tahu isi WA nya. Tampak seseorang mengambil gambar poster kecil bergambar pencalonan Pak Prayit di tiang listrik dekat rumahnya yang semalam ia pasang.
“Sebentar lagi Panwas datang.” Pesan Timan ke WA Masngud. Satu persatu orang di warung pulang. Belum apa-apa bayangan jeruji besi telah mengintimidasinya.
Blora, Juli 2015
Surga di Surabaya (November 1945)
Penulis : T. Sumarta